Al Hikmah

Buah Keikhlasan

[45] Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Apabila seorang hamba menghadapkan hatinya -untuk mengabdi- kepada Allah maka Allah pun akan menghadapkan hati hamba-hamba-Nya -untuk senang- kepadanya.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyah, hal. 41)

Kenikmatan Tertinggi Di Dunia

[46] Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Para pemuja dunia telah keluar dari dunia, sedangkan mereka belum merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Apakah hal itu wahai Abu Yahya?”. Beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 28 cet. Dar al-Imam Ahmad).

Akibat Berpaling Dari Allah

[47] Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari ketundukan beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)

Hati Ibarat Raja

[48] Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, “Hati ibarat seorang raja, sedangkan anggota badan adalah pasukannya. Apabila sang raja baik niscaya akan baik pasukannya. Akan tetapi jika sang raja busuk maka busuk pula pasukannya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14)

Keutamaan Amalan Hati

[49] Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang mencermati syari’at, pada sumber-sumber maupun ajaran-ajarannya. Dia akan mengetahui betapa erat kaitan antara amalan anggota badan dengan amalan hati. Bahwa amalan anggota badan tak akan bermanfaat tanpanya. Dan juga amalan hati itu lebih wajib daripada amalan anggota badan. Apa yang membedakan orang mukmin dengan orang munafik kalau bukan karena amalan yang tertanam di dalam hati masing-masing di antara mereka berdua? Penghambaan/ibadah hati itu lebih agung daripada ibadah anggota badan, lebih banyak dan lebih kontinyu. Karena ibadah hati wajib di sepanjang waktu.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14-15)

[50] Ibnul Qoyyim rahimahullah menegaskan, “Amalan-amalan hati itulah yang paling pokok, sedangkan amalan anggota badan adalah konsekuensi dan penyempurna atasnya. Sebagaimana niat menduduki peranan ruh, sedangkan amalan laksana tubuh. Itu artinya, jika ruh berpisah dari jasad, jasad itu akan mati. Oleh sebab itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik hati lebih penting daripada mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik anggota badan.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 15)

Sabar dan Musibah

[51] Abu Ali ad-Daqqaq rahimahullah berkata, “Hakikat sabar adalah tidak memprotes sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir. Adapun menampakkan musibah yang menimpa selama bukan untuk berkeluh-kesah (karena merasa tidak puas terhadap takdir, pent) maka hal itu tidaklah meniadakan kesabaran.” (lihat Syarh Muslim [3/7])

[52] Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Sabar di dalam agama laksana kepala bagi tubuh. Sehingga, tidak ada iman pada diri orang yang tidak punya kesabaran sama sekali.” (lihat I’anat al-Mustafid [2/107 dan 109])

Keagungan Tawakal

[53] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tawakal kepada Allah adalah salah satu kewajiban tauhid dan iman yang terbesar. Sesuai dengan kekuatan tawakal maka sekuat itulah keimanan seorang hamba dan bertambah sempurna tauhidnya. Setiap hamba sangat membutuhkan tawakal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam segala yang ingin dia lakukan atau tinggalkan, dalam urusan agama maupun urusan dunianya.” (lihat al-Qaul as-Sadid ‘ala Maqashid at-Tauhid, hal. 101)

[54] Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Tawakal kepada Allah adalah sebuah kewajiban yang harus diikhlaskan (dimurnikan) untuk Allah semata. Ia merupakan jenis ibadah yang paling komprehensif, maqam/kedudukan tauhid yang tertinggi, teragung, dan termulia. Karena dari tawakal itulah tumbuh berbagai amal salih. Sebab apabila seorang hamba bersandar kepada Allah semata dalam semua urusan agama maupun dunianya, tidak kepada selain-Nya, niscaya keikhlasan dan interaksinya dengan Allah pun menjadi benar.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 91)

Hakikat Thaghut

[55] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas, berupa sesembahan, sosok yang diikuti ataupun ditaati. Sehingga thaghut dari setiap kaum adalah orang yang menjadi patokan hukum bagi mereka selain Allah dan Rasul-Nya. Atau mereka beribadah kepada-Nya, selain beribadah kepada Allah. Atau mereka mengikutinya tanpa berdasarkan bashirah/ilmu dari Allah. Atau mereka taat kepadanya dalam urusan yang tidak mereka ketahui apakah hal itu termasuk bagian ketaatan kepada Allah. Inilah thaghut yang ada di alam semesta. Apabila kamu memperhatikannya dan mencermati kondisi manusia -dalam berinteraksi- bersama mereka (thaghut, pent), niscaya kamu akan melihat bahwa kebanyakan orang telah berpaling dari ibadah kepada Allah menuju ibadah kepada thaghut. Berpaling dari taat dan mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju taat dan mengikuti thaghut.” (lihat Taisir al-’Aziz al-Hamid, hal. 142)
 
Top