Al Hikmah

Ilmu Lebih Utama Daripada Ibadah Sunnah

[189] Abu Hurairah dan Abu Dzar radhiyallahu’anhuma berkata, “Sebuah bab tentang ilmu yang kamu pelajari lebih kami cintai daripada seribu raka’at sholat sunnah.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)

[190] Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Mempelajari dan mengingat-ingat ilmu pada sebagian malam lebih aku sukai daripada menghidupkan malam -dengan sholat sunnah-.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)

[191] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu amalan yang lebih utama daripada menimba ilmu jika disertai dengan niat yang lurus.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)

[192] Qatadah rahimahullah berkata, “Sebuah bab dalam ilmu yang dijaga/dihafal oleh seorang demi kebaikan dirinya sendiri dan kebaikan orang sesudahnya itu jauh lebih utama daripada beribadah setahun penuh.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)

[193] az-Zuhri rahimahullah berkata, “Tidaklah Allah diibadahi dengan sesuatu yang menyamai fiqih/ilmu.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)

[194] Waki’ rahimahullah berkata, “Tidaklah Allah diibadahi dengan sesuatu yang lebih utama daripada [ilmu] hadits.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 27)

[195] Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah aku mengetahui di atas muka bumi ini suatu amalan yang lebih utama daripada menuntut ilmu dan mempelajari hadits yaitu bagi orang yang bertakwa kepada Allah dan lurus niatnya.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 27)

Keutamaan Para Sahabat

[196] Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Janganlah kalian mencela para sahabat Muhammad. Sungguh kebersamaan dan duduknya mereka -bersama Nabi- itu walaupun hanya sesaat jauh lebih baik daripada amalan salah seorang dari kalian seumur hidupnya.” (lihat al-Ibanah li Maa li ash-Shahabah minal Manzilah wa al-Makanah, hal. 180)

Jihad Tanpa Pedang

[197] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya bisa jadi ada seorang yang senantiasa berjihad walaupun tidak pernah menyabetkan pedang -di medan perang- suatu hari pun.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/264] cet. Dar Thaibah)

Sebuah Kejujuran

[198] Dikisahkan bahwa Muhammad bin al-Munkadir rahimahullah menangis sejadi-jadinya menjelang kematiannya. Lalu ada orang yang bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau mengangkat pandangan matanya ke langit seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah memerintah dan melarang kepadaku lalu aku justru berbuat durhaka. Jika Engkau mengampuni [diriku] sungguh Engkau telah memberikan anugerah [kepadaku]. Dan apabila Engkau menghukum [aku], sungguh Engkau tidak melakukan kezaliman [kepadaku].” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 94)

Takut Masuk Neraka

[199] al-Hasan rahimahullah menangis sejadi-jadinya, maka ditanyakan kepadanya, “Wahai Abu Sa’id, apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena takut kalau Allah melemparkan aku ke dalam neraka dan tidak memperdulikan nasibku lagi.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 75)
 
Top