Bekal Seorang Da’i
[244] Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “.. Sesungguhnya tidaklah ada seorang da’i yang mengajak manusia kepada apa yang didakwahkan oleh para rasul kecuali pasti menghadapi orang-orang yang berupaya menghalang-halangi dakwahnya, sebagaimana yang dihadapi oleh para rasul dan nabi-nabi dari kaum mereka. Oleh sebab itu semestinya dia bersabar. Artinya dia harus berpegang teguh dengan kesabaran; yang hal itu termasuk salah satu karakter terbaik ahli iman dan sebaik-baik bekal bagi seorang da’i yang mengajak kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sama saja apakah dakwahnya itu ditujukan kepada orang-orang yang dekat dengannya atau selainnya, dia harus menjadi orang yang penyabar.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 13)
Menolak Jabriyah dan Qadariyah
[245] Abu Hafsh al-Farghani rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengakui [kandungan] Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in maka sesungguhnya dia telah berlepas diri dari paham Jabriyah dan Qadariyah.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/224])
Mengenal Allah
[246] Sebagian salaf berkata, “Wahai Rabbku, aku heran dengan orang yang mengenalmu bagaimana mungkin dia justru berharap kepada selain-Mu. Aku heran dengan orang yang mengenalmu lalu mengapa dia justru memohon pertolongan kepada selain-Mu.” (lihat Rawa’i’ at-Tafsir, Tafsir Ibnu Rajab al-Hanbali, hal. 74)
Ibadah Yang Paling Utama
[247] Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Seutama-utama ibadah adalah doa.” Lalu beliau membaca ayat (yang artinya), “Rabbmu berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60) (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak [1856])
Keutamaan Surat al-Fatihah
[248] Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-Fatihah adalah Ummul Qur’an (Induk al-Qur’an); dikarenakan seluruh maksud ajaran al-Qur’an terkandung di dalamnya. Ia telah mencakup tiga macam tauhid. Ia juga mencakup penetapan risalah, hari akhir, jalan para rasul dan jalan orang-orang yang menyelisihi mereka. Segala perkara yang terkait dengan pokok-pokok syari’at telah terkandung di dalam surat ini. Oleh karena itu ia disebut dengan Ummul Qur’an.” (lihat Syarh al-Mumti’ [2/82])
Hanya Sedikit Yang Berhasil Lolos
[249] Tatkala begitu banyak orang yang menimba hadits pada masa al-A’masy ada seseorang yang berkata kepadanya, “Wahai Abu Muhammad, lihatlah mereka?! Betapa banyak jumlah mereka!!”. Maka beliau menjawab, “Janganlah kamu lihat kepada banyaknya jumlah mereka. Sepertiganya akan mati. Sepertiga lagi akan disibukkan dengan pekerjaan. Sepertiganya lagi, dari setiap seratus orang hanya ada satu orang yang berhasil -menjadi ulama-.” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 28)
Pokok Segala Kebaikan
[250] Dawud ath-Tha’i rahimahullah berkata, “Aku melihat bahwa segala kebaikan itu bersumber dari niat yang baik.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Sebab Baiknya Amalan
[251] Ibnu ‘Ajlan rahimahullah berkata, “Tidaklah menjadi baik suatu amal tanpa tiga hal, yaitu: ketakwaan kepada Allah, niat baik, dan cara yang benar.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Akar Perselisihan
[252] Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullah mengatakan, “Perselisihan manusia itu semuanya kembali kepada tiga sumber utama. Masing-masing memiliki lawan. Barangsiapa yang jatuh dari satu urusan niscaya dia akan terperosok kepada lawannya. Tauhid, lawannya syirik. Sunnah, lawannya adalah bid’ah. Dan taat, yang lawannya adalah maksiat.” (lihat Ilmu Ushul Bida’, hal. 39)
Bukan Ghibah
[253] al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Berbicara dalam bentuk kritik/celaan kepada orang/tokoh dalam rangka menunaikan nasehat untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk kitab-Nya, dan untuk kaum mukminin itu tidak dikategorikan ghibah/menggunjing, bahkan dia akan mendapatkan pahala selama dia benar-benar tulus berniat untuk itu (memberi nasehat , pent).” (lihat al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar Ulum al-Hadits, hal. 228)
Merasa Diawasi Allah
[254] Pada suatu malam ada seorang lelaki yang merayu seorang wanita di tengah padang pasir. Akan tetapi wanita itu enggan memenuhi ajakannya. Lelaki itu berkata, “Tidak ada yang melihat kita kecuali bintang-bintang.” Wanita itu berkata, “Lalu dimanakah yang menciptakan bintang-bintang itu?!” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 33)