Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata: Apabila engkau telah mengerti bahwa jika syirik mencampuri suatu ibadah maka hal itu akan merusaknya dan menghapuskan amalan, bahkan pelakunya termasuk golongan orang yang kekal [dihukum] di dalam neraka. Maka itu artinya, engkau telah mengerti bahwa sesuatu yang terpenting bagimu adalah mengenali hal itu.
Mudah-mudahan Allah menyelamatkan dirimu dari perangkap ini. Yaitu syirik kepada Allah. Sebab, Allah ta’ala berfirman tentangnya (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan akan mengampuni apa-apa yang berada di bawah tingkatan syirik itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa’: 116)
Yaitu dengan memahami empat buah kaidah dasar yang telah disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam Kitab-Nya (al-Qur’an).
[lihat Mu'allafat asy-Syaikh al-Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 199-200]
Penjelasan Global
Di dalam bagian ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah masih menjelaskan tentang bahaya syirik. Sebagaimana sholat menjadi batal karena hadats, maka demikian pula ibadah menjadi terhapus gara-gara syirik. Bahkan, bisa mengantarkan pelakunya termasuk golongan penghuni neraka selama-lamanya. Sebab, syirik adalah dosa terbesar, dosa yang tidak diampuni Allah apabila pelakunya tidak bertaubat sebelum mati.
Makna Syirik
Para ulama menerangkan, bahwa hakikat syirik adalah mensejajarkan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan milik-Nya. Sehingga, syirik pun pada dasarnya terbagi menjadi tiga -sebagaimana tauhid-; ada syirik dalam hal rububiyah, syirik dalam uluhiyah, dan syirik dalam hal asma’ wa shifat.
Meskipun demikian, penggunaan istilah syirik secara umum lebih mengacu kepada syirik dalam hal uluhiyah, sebab itulah yang lebih dominan terjadi dan menjadi sasaran utama perbaikan kondisi umat manusia yang diserukan oleh para nabi dan rasul ‘alaihimush sholatu was salam. Namun, tidaklah diungkiri bahwa kesyirikan dalam hal rububiyah maupun asma’ wa shifat pun ada di tengah-tengah manusia karena adakalanya syirik dalam uluhiyah juga dibangun di atas syirik dalam rububiyah.
Pembagian Syirik
Syirik terbagi -berdasarkan dalil-dalil dan pengkajian ulama- menjadi syirik besar dan syirik kecil. Syirik besar adalah segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang mengandung unsur persembahan ibadah (penghambaan) kepada selain Allah. Seperti dengan berdoa kepada selain Allah, menyembelih untuk selain Allah, dan lain sebagainya.
Adapun syirik kecil adalah segala sarana menuju syirik besar yang dinamakan oleh syari’at sebagai syirik namun tidak mencapai derajat penghambaan (ubudiyah). Contohnya adalah bersumpah dengan selain nama Allah, mengenakan jimat, riya’, dan lain-lain.
Dampak Syirik
Sebagaimana telah disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, bahwa syirik memiliki pengaruh buruk yang sangat membahayakan, yaitu: merusak/menghancurkan ibadah, melenyapkan amalan, menyebabkan pelakunya termasuk golongan penghuni neraka selama-lamanya, dan tidak akan terampuni dosanya.
Apabila syirik itu termasuk syirik besar maka ia menyebabkan terhapusnya seluruh amalan dan pelakunya jika tidak bertaubat sebelum meninggal maka dia akan kekal di dalam neraka, karena dia telah keluar dari agama Islam. Adapun apabila syirik itu termasuk syirik kecil, maka ia menyebabkan tidak diterimanya amalan yang tercampuri olehnya namun pelakunya tidak keluar dari agama. Meskipun demikian syirik kecil lebih besar dosanya daripada dosa-dosa besar yang lain. Mengenai apakah syirik kecil termasuk tidak diampuni atau tidak terdapat perbedaan pendapat diantara ulama.
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Kami tampakkan kepada mereka segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan amal-amal itu laksana debu yang beterbangan.” (QS. al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaa’dul Masir, hal. 1014)
Di dalam ayat lain, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu -Muhammad- dan juga kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu, dan pastilah kamu termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Ini adalah pendidikan dari Allah ta’ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ancaman bagi selainnya, karena Allah ‘azza wa jallah telah menjaga beliau dari perbuatan syirik.” (lihat Zaadul Masir, hal. 1235)
Khawatir Terjerumus Syirik
Sebagai seorang muslim, kita wajib merasa takut terjatuh ke dalam syirik. Allah ta’ala berfirman tentang doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam (yang artinya), “Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung.” (QS. Ibrahim: 35)
Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Syirik adalah perkara yang semestinya paling dikhawatirkan menimpa pada seorang hamba. Karena sebagian bentuk syirik itu adalah berupa amalan-amalan hati, yang tidak bisa diketahui oleh setiap orang. Tidak ada yang mengetahui secara persis akan hal itu kecuali Allah semata. Sebagian syirik itu muncul di dalam hati. Bisa berupa rasa takut, atau rasa harap. Atau berupa inabah/mengembalikan urusan kepada selain Allah jalla wa ‘ala. Atau terkadang berupa tawakal kepada selain Allah. Atau mungkin dalam bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah. Atau karena amal-amal yang dilakukannya termasuk dalam kemunafikan atau riya’. Ini semuanya tidak bisa diketahui secara persis kecuali oleh Allah semata. Oleh sebab itu rasa takut terhadapnya harus lebih besar daripada dosa-dosa yang lainnya…” (lihat Transkrip ceramah Syarh al-Qawa’id al-Arba’ 1425 H oleh beliau, hal. 6)
Jangan Remehkan Syirik!
Ibrahim at-Taimi rahimahullah -salah seorang ulama ahli ibadah dan zuhud yang meninggal di dalam penjara al-Hajjaj pada tahun 92 H- mengatakan, “Maka, siapakah yang bisa merasa aman [terbebas] dari musibah [syirik] setelah Ibrahim -‘alaihis salam-?” (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan alusy Syaikh, hal. 32)
Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata, “Malaikat membawa naik amalan seorang hamba dengan penuh gembira. Tatkala dia telah bertemu dengan Rabbnya, maka Allah pun berkata: Masukkanlah amalan itu ke dalam Sijjin [catatan keburukan], karena amalan tu tidak dipersembahkan untuk-Ku.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 45)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya menjadi terhapus.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 584)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Riya’ adalah mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ‘ujub adalah mempersekutukan Allah dengan diri sendiri.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 583)
Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, “Allah tidak menerima amalan yang di dalamnya tercampuri riya’ walaupun hanya sekecil biji tanaman.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 572)
Diriwayatkan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Amal yang salih adalah amalan yang kamu tidak menginginkan pujian dari siapapun atasnya kecuali dari Allah.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 35)
Abu Ishaq al-Fazari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya diantara manusia ada orang yang sangat menggandrungi pujian kepada dirinya, padahal di sisi Allah dia tidak lebih berharga daripada sayap seekor nyamuk.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 573) Wallahu a’lam bish shawaab.