[21] Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh tentang Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan puncak kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena sesungguhnya yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
[22] Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Amalan-amalan hati itulah yang paling pokok, sedangkan amalan anggota badan adalah konsekuensi dan penyempurna atasnya. Sebagaimana niat itu menduduki peranan seperti halnya ruh, sedangkan amalan itu laksana tubuh. Itu artinya, jika ruh berpisah dari jasad, maka jasad itu akan mati. Oleh sebab itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik hati itu lebih penting daripada mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik anggota badan.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 15)
[23] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ketakwaan yang hakiki adalah ketakwaan yang berakar dari dalam hati bukan semata-mata ketakwaan dengan anggota badan.” (lihat al-Fawa’id, hal. 136)
[24] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Kelezatan mengikuti rasa cinta. Ia akan menguat mengikuti menguatnya cinta dan melemah pula seiring dengan melemahnya cinta. Setiap kali keinginan terhadap al-mahbub (sosok yang dicintai) serta kerinduan kepadanya menguat maka semakin sempurna pula kelezatan yang akan dirasakan tatkala sampai kepada tujuannya tersebut. Sementara rasa cinta dan kerinduan itu sangat tergantung kepada ma’rifah/pengenalan dan ilmu tentang sosok yang dicintai. Setiap kali ilmu yang dimiliki tentangnya bertambah sempurna maka niscaya kecintaan kepadanya pun semakin sempurna. Apabila kenikmatan yang sempurna di akherat serta kelezatan yang sempurna berporos kepada ilmu dan kecintaan, maka itu artinya barangsiapa yang lebih dalam pengenalannya dalam beriman kepada Allah, nama-nama, sifat-sifat-Nya serta -betul-betul meyakini- agama-Nya niscaya kelezatan yang akan dia rasakan tatkala berjumpa, bercengkerama, memandang wajah-Nya dan mendengar ucapan-ucapan-Nya juga semakin sempurna. Adapun segala kelezatan, kenikmatan, kegembiraan, dan kesenangan -duniawi yang dirasakan oleh manusia- apabila dibandingkan dengan itu semua laksana setetes air di tengah-tengah samudera. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin orang yang berakal lebih mengutamakan kelezatan yang amat sedikit dan sebentar bahkan tercampur dengan berbagai rasa sakit di atas kelezatan yang maha agung, terus-menerus dan abadi. Kesempurnaan seorang hamba sangat tergantung pada dua buah kekuatan ini; kekuatan ilmu dan rasa cinta. Ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang Allah, sedangkan kecintaan yang paling tinggi adalah kecintaan kepada-Nya. Sementara itu kelezatan yang paling sempurna akan bisa digapai berbanding lurus dengan dua hal ini, Allahul musta’aan.” (lihat al-Fawa’id, hal. 52 cet. Dar al-’Aqidah)
[25] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hidayah adalah pengetahuan tentang kebenaran yang disertai keinginan untuk mengikutinya dan lebih mengutamakan kebenaran itu daripada selainnya. Orang yang mendapat hidayah adalah orang yang melaksanakan kebenaran dan benar-benar menginginkannya. Itulah nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba. Oleh sebab itu Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya hidayah menuju jalan yang lurus setiap sehari semalam dalam sholat lima waktu yang kita lakukan. Karena sesungguhnya setiap hamba membutuhkan ilmu untuk bisa mengenal kebenaran yang diridhai Allah dalam setiap gerakan lahir maupun batin. Apabila dia telah mengetahuinya dia masih membutuhkan sosok yang memberikan ilham kepadanya untuk mengikuti kebenaran itu, sehingga kemauan itu tertancap kuat di dalam hatinya. Setelah itu, dia juga masih membutuhkan sosok yang membuatnya mampu melakukan hal itu. Padahal, sesuatu yang telah dimaklumi bahwasanya apa yang tidak diketahui oleh seorang hamba itu berlipat ganda jauh lebih banyak daripada apa yang sudah diketahuinya. Disamping itu, tidaklah semua kebenaran yang diketahuinya itu secara otomatis dikehendaki oleh jiwanya. Seandainya menghendakinya, tetap saja dia tidak mampu untuk mewujudkan banyak hal di dalamnya.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/25-26])
[26] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah mengaitkan antara hidayah dengan jihad/kesungguh-sungguhan [lihat QS. Al-Ankabut: 69]. Ini artinya, orang yang paling besar hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Sedangkan jihad yang paling wajib adalah jihad menundukkan jiwa dan berjuang mengendalikan hawa nafsu, berjihad melawan syaitan, dan berjihad melawan [ambisi] dunia. Barangsiapa yang berjihad melawan keempat hal ini Allah tunjukkan kepadanya jalan-jalan keridhaan-Nya yang mengantarkan ke surga-Nya. Barangsiapa yang meninggalkan jihad itu maka dia akan kehilangan hidayah sekadar dengan jihad yang ditelantarkannya.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir [4/518])
[27] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila mengangkat suara mereka lebih tinggi daripada suara beliau itu menjadi sebab terhapusnya amalan mereka [lihat QS. Al-Hujurat: 2] lantas bagaimana lagi dengan orang yang lebih mendahulukan pendapat mereka, akal mereka, perasaan mereka, politik mereka, atau pengetahuan mereka daripada ajaran beliau bawa dan mengangkat itu semua di atas sabda-sabda beliau? Bukankah itu semua lebih pantas lagi untuk menjadi sebab terhapusnya amal-amal mereka?” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/407])
[28] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Setiap orang yang merasa takut kepada-Nya, lantas menunaikan ketaatan kepada-Nya yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka dialah sesungguhnya orang yang alim/berilmu.” Suatu ketika, ada orang yang berkata kepada asy-Sya’bi, “Wahai sang alim/ahli ilmu.” Maka beliau menjawab, “Kami ini bukan ulama. Orang yang alim adalah orang yang merasa takut kepada Allah.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/98])
[29] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Para ulama suu’/jahat duduk di depan pintu surga seraya menyeru manusia supaya masuk ke dalamnya dengan ucapan lisan mereka. Akan tetapi mereka mengajak kepada neraka dengan amal perbuatan mereka. Setiap kali ucapan mereka mengajak manusia, “Kemarilah!” maka perbuatan mereka justru berkata, “Jangan kalian dengarkan ucapannya.” Karena seandainya apa yang dia serukan adalah kebenaran maka niscaya dia adalah orang yang pertama kali melakukannya. Mereka itu secara lahir tampak sebagai pemberi petunjuk, akan tetapi pada hakikatnya mereka adalah perampok.” (lihat al-Fawa’id, hal. 60)
[30] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan bagi umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran yang dengan tindakan pengingkaran itu diharapkan tercapai suatu perkara ma’ruf/kebaikan yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya. Apabila suatu bentuk pengingkaran terhadap kemungkaran justru menimbulkan perkara yang lebih mungkar dan lebih dibenci oleh Allah dan rasul-Nya maka tidak boleh melakukan tindak pengingkaran terhadapnya, meskipun Allah dan rasul-Nya memang membencinya dan murka kepada pelakunya. Contohnya adalah mengingkari penguasa dan pemimpin dengan cara melakukan pemberontakan kepada mereka. Sesungguhnya hal itu merupakan sumber segala keburukan dan terjadinya fitnah hingga akhir masa. Barangsiapa yang memperhatikan musibah yang menimpa umat Islam berupa fitnah yang besar maupun yang kecil maka dia akan bisa melihat bahwasanya hal itu timbul akibat menyia-nyiakan prinsip ini dan karena ketidaksabaran dalam menghadapi kemungkaran sehingga orang pun nekat untuk menuntut dilenyapkannya hal itu, namun yang terjadi justru memunculkan musibah yang lebih besar daripada -kemungkaran- itu.” (lihat ta’liq Syaikh Raslan dalam al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, hal. 25)