Mendoakan Kebaikan Untuk Penguasa
[112] Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Apabila kamu melihat seseorang yang mendoakan keburukan bagi penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang pengekor hawa nafsu. Dan apabila kamu mendengar seseorang yang mendoakan kebaikan untuk penguasa, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang pembela Sunnah, insya Allah.” (lihat Qa’idah Mukhtasharah, hal. 13)
Cara Menasihati Penguasa
[113] Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma pernah ditanya tentang bagaimanakah cara yang benar dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar kepada penguasa, beliau menjawab, “Apabila kamu memang mampu melakukannya, cukuplah antara kamu dengan dia saja.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 105)
Merealisasikan Tauhid
[114] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya merealisasikan tauhid itu adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran syirik besar maupun kecil serta kebid’ahan yang berupa ucapan yang mencerminkan keyakinan maupun yang berupa perbuatan/amalan dan mensucikan diri dari kemaksiatan. Hal itu akan tercapai dengan cara menyempurnakan keikhlasan kepada Allah dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan, kemudian membersihkan diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta menyelamatkan diri dari bid’ah-bid’ah.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 20)
Bukan Hak Sembarang Orang
[115] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedudukan dan kekuasaan tidak bisa mengubah orang yang bukan alim mujtahid menjadi seorang alim mujtahid. Seandainya hak berbicara tentang urusan ilmu dan agama diperoleh dengan sebab kekuasaan dan kedudukan niscaya khalifah dan raja adalah orang yang paling berhak berbicara tentang ilmu dan agama. Sehingga orang-orang merujuk kepadanya dalam mencari solusi bagi masalah ilmu maupun agama yang mereka hadapi. Apabila ternyata khalifah dan raja tidak mendakwakan hal itu ada pada dirinya, demikian juga rakyat tidak wajib menerima pendapatnya tanpa melihat pendapat yang lain, kecuali apabila selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada raja lebih pantas untuk tidak melampaui kapasitas dirinya…” (lihat Qawa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 28)
[116] Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak selayaknya seseorang memandang dirinya pantas menempati peran penting -dalam urusan ilmu, pent- sebelum bertanya kepada orang lain yang lebih berilmu darinya. Tidaklah aku memberikan fatwa hingga aku bertanya kepada Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id. Tatkala mereka berdua memerintahkan (mengijinkan) aku untuk berfatwa akupun berfatwa. Seandainya mereka berdua melarangku niscaya aku pun akan menahan diri.” (lihat Qawa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 27)
Buah dan Keutamaan Tauhid
[117] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang memiliki dampak yang baik serta keutamaan beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akherat itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 16)
[118] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Segala kebaikan yang segera -di dunia- ataupun yang tertunda -di akherat- sesungguhnya merupakan buah dari tauhid, sedangkan segala keburukan yang segera ataupun yang tertunda maka itu merupakan buah/dampak dari lawannya….” (lihat al-Qawa’id al-Hisan al-Muta’alliqatu Bi Tafsir al-Qur’an, hal. 26)
Makna Zuhud
[119] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Zuhud yang disyari’atkan itu adalah; dengan meninggalkan perkara-perkara yang tidak mendatangkan manfaat kelak di negeri akhirat dan kepercayaan yang kuat tertanam di dalam hati mengenai balasan dan keutamaan yang ada di sisi Allah… Adapun secara lahiriyah, segala hal yang digunakan oleh seorang hamba untuk menjalankan ketaatan kepada Allah, maka meninggalkan itu semua bukan termasuk zuhud yang disyari’atkan. Akan tetapi yang dimaksud zuhud adalah meninggalkan sikap berlebihan dalam perkara-perkara yang menyibukkan sehingga melalaikan dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, berupa makanan, pakaian, harta, dan lain sebagainya…” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimyah, hal. 69-70)
Menjaga Lisan
[120] Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Demi Allah yang tiada sesembahan yang benar selain-Nya. Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang lebih butuh dipenjara dalam waktu yang lama selain daripada lisan.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 26)
[121] Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Sesuatu yang paling layak untuk terus dibersihkan oleh seorang hamba adalah lisannya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 27)
[122] Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berpesan, “Jauhilah oleh kalian kebiasaan terlalu banyak berbicara.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 28)