Al Hikmah

Betapa Berartinya Seorang Ulama

[156] Muhammad bin Abi Hatim rahimahullah mengatakan: Aku mendengar Yahya bin Ja’far al-Baikandi berkata, “Seandainya aku mampu menambah umur Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari) dari jatah umurku niscaya akan aku lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang lelaki biasa. Adapun kematiannya berarti lenyapnya ilmu [agama].” (lihat Tarajim al-A’immah al-Kibar, hal. 118)

Memuliakan Majelis Ilmu

[157] Abu Salamah al-Khuza’i rahimahullah berkata: Adalah Malik bin Anas, apabila beliau ingin berangkat untuk mengajarkan hadits maka beliau pun berwudhu sebagaimana wudhu untuk sholat. Beliau mengenakan pakaiannya yang terbaik dan memakai peci. Dan beliau pun menyisir jenggotnya. Tatkala hal itu ditanyakan kepadanya, beliau menjawab, “Aku ingin memuliakan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Manaqib al-A’immah al-Arba’ah oleh Imam Ibnu Abdil Hadi rahimahullah, hal. 87-88)

Aku Tidak Tahu

[158] al-Haitsam bin Jamil rahimahullah berkata: Aku pernah mendengar Malik ditanya 48 pertanyaan, maka beliau memberikan jawaban untuk 32 diantara semua pertanyaan itu dengan ucapan, “Aku tidak tahu.” (lihat Manaqib al-A’immah al-Arba’ah, hal. 94)

Merendahkan Diri Di Hadapan Allah

[159] Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Semestinya seorang faqih (ahli agama) meletakkan tanah di atas kepalanya untuk merendahkan dirinya di hadapan Allah dan mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya.” (lihat Manaqib al-A’immah al-Arba’ah, hal. 117)

Berhati-Hati Dalam Berbicara

[160] al-Maimuni rahimahullah berkata: Ahmad bin Hanbal pernah berpesan kepadaku, “Wahai Abul Hasan! Berhati-hatilah kamu, jangan sampai engkau berbicara dalam suatu masalah yang engkau tidak memiliki imam dalam hal itu.” (lihat Manaqib al-Imam Ahmad oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, hal. 245)

Berbeda Karena Niatnya

[161] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seandainya seorang yang menyampaikan kebenaran memiliki niat untuk mendapatkan ketinggian di muka bumi (kedudukan) atau untuk menimbulkan kerusakan, maka kedudukan orang itu seperti halnya orang yang berperang karena fanatisme dan riya’. Namun, apabila dia berbicara karena Allah; ikhlas demi menjalankan [ajaran] agama untuk-Nya semata, maka dia termasuk golongan orang yang berjihad di jalan Allah, termasuk jajaran pewaris para nabi dan khalifah para rasul.” (lihat Dhawabith wa Fiqh Da’wah ‘inda Syaikhil Islam, hal. 109)

Penguasa Cerminan Rakyatnya

[162] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan perhatikanlah hikmah yang Allah ta’ala simpan di balik mengapa Allah menjadikan para raja, pemimpin, dan penguasa bagi manusia orang-orang yang serupa [buruknya] dengan perbuatan mereka (rakyat). Bahkan, seolah-olah amal perbuatan mereka itu terekspresikan di dalam sosok para penguasa dan raja-raja mereka. Apabila rakyat itu baik niscaya baik pula raja-raja mereka. Apabila mereka (rakyat) menegakkan keadilan niscaya para penguasa itu menerapkan keadilan atas mereka. Dan apabila mereka berbuat aniaya (tidak adil) maka raja dan penguasa mereka pun akan bertindak aniaya kepada mereka. Apabila di tengah-tengah mereka merebak makar (kecurangan) dan tipu daya, maka demikian pula pemimpin mereka. Apabila mereka tidak menunaikan hak-hak Allah dan pelit dengannya, demikian pula para penguasa mereka akan menghalangi hak-hak rakyat yang semestinya ditunaikan kepada mereka…” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 258 oleh Syaikh Muhammad Sa’id Ruslan)

Tidak Melampaui Batas

[163] asy-Sya’bi rahimahullah berkata, “Cintailah ahli bait Nabimu, namun janganlah kamu menjadi Rafidhi [Syi'ah]. Beramallah dengan al-Qur’an, namun janganlah kamu menjadi Haruri [Khawarij]. Ketahuilah, bahwa kebaikan apapun yang datang kepadamu adalah anugerah dari Allah. Dan apa pun yang datang kepadamu berupa keburukan adalah akibat perbuatanmu sendiri. Namun, janganlah kamu menjadi Qadari [penolak takdir]. Dan taatilah pemimpin [pemerintah] walaupun dia adalah seorang budah Habasyi.” (lihat Aqwal Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman [1/146])

Makna Tauhid Uluhiyah

[164] Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menerangkan, “Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti dalam hal doa, istighotsah/memohon keselamatan, isti’adzah/meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya. Itu semuanya wajib ditujukan oleh hamba kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dalam hal itu/ibadah dengan sesuatu apapun.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 56)

al-Qur’an dan Tauhid

[165] Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Barangsiapa mentadabburi Kitabullah serta membaca Kitabullah dengan penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi al-Qur’an; dari al-Fatihah sampai an-Naas, semuanya berisi dakwah tauhid. Ia bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid, atau bisa juga berupa peringatan dari syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang bertauhid dan keadaan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir al-Qur’an tidak pernah keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang Allah syari’atkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini merupakan rincian dari ajaran tauhid…” (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 22)

[166] Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Seluruh isi al-Qur’an berbicara tentang penetapan tauhid dan menafikan lawannya. Di dalam kebanyakan ayat, Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah pun mengabarkan bahwa segenap rasul hanyalah diutus untuk mengajak kaumnya supaya beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah pun menegaskan bahwa tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya seluruh kitab suci dan para rasul, fitrah dan akal yang sehat, semuanya telah sepakat terhadap pokok ini. Yang ia merupakan pokok paling mendasar diantara segala pokok ajaran agama.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [8/23])
 
Top