Al Hikmah

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:

Kaidah Pertama:

Satu hal yang semestinya engkau mengerti, bahwasanya orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui bahwasanya Allah adalah satu-satunya pencipta dan pengatur segala urusan. Meskipun demikian, hal itu belumlah memasukkan mereka ke dalam Islam.

Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah: Siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi? Siapakah yang berkuasa atas pendengaran dan penglihatan? Siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Siapakah yang mengatur segala urusan? Pasti mereka akan menjawab: Allah. Maka katakan: Lalu mengapa kalian tidak bertakwa?” (QS. Yunus: 31)

[lihat Mu'allafat asy-Syaikh al-Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 200]

Penjelasan Global

Di dalam kaidah yang pertama ini beliau ingin menjelaskan kepada kita, bahwa orang-orang musyrik yang diperangi oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang mengimani keesaan Allah dalam hal rububiyah-Nya. Mereka telah meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan pengatur alam semesta.

Meskipun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mendakwahi bahkan memerangi mereka dan mengajak mereka kepada Islam dan syahadat laa ilaha illallah. Hal ini menunjukkan bahwasanya semata-mata mengimani rububiyah Allah tidak bisa memasukkan ke dalam Islam dan belum cukup untuk bisa menyelamatkan seorang hamba dari pedihnya siksa neraka selama-lamanya.

Tauhid Rububiyah

Sebagaimana telah disinggung di depan, bahwasanya tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta. Untuk bisa memahami dengan baik dan sempurna makna tauhid ini kami akan menukilkan keterangan para ulama tentang makna kata ‘rabb’ yang menjadi asal istilah rububiyah.

Imam ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah berkata, “Akar kata dari Rabb adalah tarbiyah; yaitu menumbuhkan sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan berikutnya secara bertahap hingga mencapai kesempurnaan.” (lihat al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/245])

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Rabb menurut bahasa digunakan untuk tiga makna; sayyid/tuan yang dipatuhi, maalik/pemilik atau penguasa, atau sosok yang melakukan ishlah/perbaikan kepada selainnya.” (lihat transkrip ceramah Syarh Tsalatsat al-Ushul milik beliau)

Inilah yang dimaksud dengan keimanan orang-orang musyrik. Yaitu mereka beriman hanya dalam hal tauhid rububiyah, namun kafir (ingkar) terhadap tauhid uluhiyah.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah, melainkan mereka juga terjerumus dalam kemusyrikan.” (QS. Yusuf: 107).

Ikrimah berkata, “Tidaklah kebanyakan mereka -orang-orang musyrik- beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan berbuat syirik. Apabila kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Maka mereka akan menjawab, ‘Allah’. Itulah keimanan mereka, namun di saat yang sama mereka juga beribadah kepada selain-Nya.” (lihat Fath al-Bari [13/556])

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh, jika engkau (Muhammad) tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab, ‘Yang menciptakannya adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui’.” (QS. az-Zukhruf: 9)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan diri mereka, niscaya mereka menjawab: Allah. Lalu dari mana mereka bisa dipalingkan (dari menyembah Allah).” (QS. az-Zukhruf: 87).

Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang-orang musyrik arab dahulu telah mengakui tauhid rububiyah. Mereka pun mengakui bahwa pencipta langit dan bumi ini hanya satu.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 81)

Tauhid Rububiyah Saja Tidak Cukup!

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Diantara perkara yang mengherankan adalah kebanyakan para penulis dalam bidang ilmu tauhid dari kalangan belakangan (muta’akhirin) lebih memfokuskan pembahasan mengenai tauhid rububiyah. Seolah-olah mereka sedang berbicara dengan kaum yang mengingkari keberadaan Rabb [Allah] -walaupun mungkin ada orang yang mengingkari Rabb [Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta]- akan tetapi bukankah betapa banyak umat Islam yang terjerumus ke dalam syirik ibadah!!” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/8])

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah yang dimaksud dengan tauhid itu sekedar tauhid rububiyah yaitu keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan alam sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang dari kalangan ahli kalam dan tasawuf. Bahkan, mereka menyangka apabila telah menetapkan kebenaran hal ini dengan dalil maka mereka merasa telah mengukuhkan hakikat tauhid. Mereka beranggapan apabila telah menyaksikan dan mencapai tingkatan ini artinya mereka berhasil menggapai puncak tauhid. Padahal, apabila ada seseorang yang mengakui sifat-sifat yang menjadi keagungan Allah ta’ala, menyucikan-Nya dari segala hal yang mencemari kedudukan-Nya, dan meyakini Allah satu-satunya pencipta segala sesuatu, tidaklah dia menjadi seorang muwahid sampai dia mengucapkan syahadat laa ilaha illallah; tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata. Sehingga dia mengakui hanya Allah yang berhak diibadahi serta menjalankan ibadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.” (lihat Fath al-Majid, hal. 15-16)

Tauhid Uluhiyah Intisari Ajaran Islam

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Seluruh isi al-Qur’an berbicara tentang penetapan tauhid dan menafikan lawannya. Di dalam kebanyakan ayat, Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah pun mengabarkan bahwa segenap rasul hanyalah diutus untuk mengajak kaumnya supaya beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah pun menegaskan bahwa tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya seluruh kitab suci dan para rasul, fitrah dan akal yang sehat, semuanya telah sepakat terhadap pokok ini. Yang ia merupakan pokok paling mendasar diantara segala pokok ajaran agama.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [8/23])

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memaparkan, “Mengapa para nabi tidak berkonsentrasi pada penetapan tauhid rububiyah dan dakwah kepadanya? Sebab tauhid rububiyah adalah sesuatu yang telah mereka akui. Mereka tidaklah mengingkarinya, dan tidak ada seorang pun yang berani mengingkari tauhid rububiyah selamanya, kecuali karena kesombongan semata. Karena pada hakikatnya tidak ada seorang pun yang meyakini -selamanya- bahwa alam semesta menciptakan dirinya sendiri. Bahkan, kaum Majusi Tsanuwiyah sekalipun; yang berkeyakinan bahwa alam semesta ini memiliki dua pencipta. Meskipun demikian, mereka tetap meyakini bahwa salah satu diantara keduanya lebih sempurna. Mereka meyakini bahwa tuhan cahaya menciptakan kebaikan, sedangkan tuhan kegelapan menciptakan keburukan. Sementara mereka mengatakan bahwa tuhan cahaya adalah tuhan yang baik dan bermanfaat. Adapun tuhan kegelapan adalah tuhan yang buruk…” “…Intinya, tidak akan anda temukan selamanya seorang pun yang berkata bahwa alam semesta ini diciptakan tanpa adanya Sang pencipta, kecuali orang yang sombong. Sedangkan orang yang sombong semacam ini adalah termasuk golongan orang musyrik. Adapun masalah [tauhid] uluhiyah, maka itulah permasalahan yang menjadi sumber pertikaian dan pertentangan antara para rasul dengan umat mereka.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Hisan, hal. 21)

Salah Paham Terhadap Makna Kalimat Tauhid

Dari penjelasan-penjelasan di atas, jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya hakikat dan misi utama dakwah para rasul adalah untuk menyerukan tauhid uluhiyah, bukan tauhid rububiyah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum engkau seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada ilah [yang benar] selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. Al-Anbiyaa’: 25)

Dengan demikian, jelaslah kekeliruan sebagian orang yang menafsirkan kalimat laa ilaha illallah dengan tidak ada yang berkuasa untuk mencipta kecuali Allah (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75-77). Sebab, menafsirkan kalimat tauhid dengan pemaknaan semacam itu berarti menyelewengkan makna ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan secara gamblang bahwa maksud kalimat tauhid ini adalah ‘tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah’ alias tauhid uluhiyah.

Serupa dengan hal itu, kekeliruan sebagian orang yang memaknai laa ilaha illallah dengan laa khaliqa illallah (tidak ada pencipta selain Allah). Atau mengartikan laa ilaha illallah dengan laa raaziqa illallah (tidak ada pemberi rizki selain Allah), dan lain sebagainya. Begitu pula, orang yang menafsirkan laa ilaha illallah dengan laa haakima illallah (tidak ada pembuat hukum selain Allah), ini pun penafsiran yang tidak tepat!
 
Top