Rasa Malu dan Kehidupan Hati
[222] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kata al-Haya’ [rasa malu] berasal dari kata al-Hayat [kehidupan] sebab hati yang hidup akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sejati. Di dalam dirinya terdapat rasa malu yang akan menghalanginya dari berbagai keburukan. Karena sesungguhnya kehidupan hati itu adalah sesuatu yang bisa mencegah dirinya dari melakukan berbagai hal yang jelek dan merusak hati.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 30)
Letak Niat
[223] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Letak niat adalah di dalam hati dengan kesepakatan para ulama. Apabila seseorang telah berniat dengan hatinya dan tidak mengucapkan hal itu dengan lisannya, maka niat itu sudah dianggap sah/cukup berdasarkan kesepakatan mereka. Karena sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, dan para tabi’in; tidaklah dinukil dari seorang pun diantara mereka bahwa mereka melafalkan niat, tidak dalam hal sholat, thaharah, maupun puasa.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 36)
Syukur dan Istighfar
[224] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berada diantara kenikmatan dari Allah yang mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istighfar. Kedua hal ini adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah dan senantiasa membutuhkan taubat dan istighfar.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87)
Orang Yang Faqih
[225] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang yang faqih itu adalah orang yang zuhud kepada dunia dan sangat memburu akhirat. Orang yang paham tentang agamanya dan senantiasa beribadah kepada Rabbnya. Orang yang berhati-hati sehingga menahan diri dari menodai kehormatan dan harga diri kaum muslimin. Orang yang menjaga kehormatan dirinya dari meminta harta mereka dan senantiasa mengharapkan kebaikan bagi mereka.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 28)
Akibat Terlalu Banyak Bicara
[226] Salman al-Farisi radhiyallahu’anhu berkata, “Orang yang paling banyak dosanya pada hari kiamat nanti adalah orang yang paling banyak berbicara dalam kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 8)
Orang Yang Bertakwa
[227] Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ditanya tentang orang-orang yang bertakwa. Beliau pun menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari kemusyrikan dan peribadahan kepada berhala, serta mengikhlaskan ibadah mereka untuk Allah semata.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211)
[228] al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah kepada mereka dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211)
[229] Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruniai amal kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211)
Iman Yang Sejati
[230] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dicapai semata-mata dengan menghiasi penampilan atau berangan-angan, akan tetapi iman adalah apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1124)
[231] Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Iman itu telanjang sedangkan pakaiannya adalah ketakwaan. Hartanya adalah fikih (ilmu agama). Adapun perhiasannya adalah rasa malu.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1176)
Bukti Kasih Sayang Allah
[232] Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya suatu ilmu yang kebutuhan umat manusia terhadapnya semakin besar maka konsekuensinya adalah dalil-dalil yang menunjukkan kepadanya juga semakin jelas, sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 86)