[11] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ada tiga pokok yang menjadi pondasi kebahagiaan seorang hamba, dan masing-masingnya memiliki lawan. Barangsiapa yang kehilangan pokok tersebut dia akan terjerumus ke dalam lawannya. [1] Tauhid, lawannya syirik. [2] Sunnah, lawannya bid’ah. Dan [3] ketaatan, lawannya adalah maksiat…” (lihat al-Fawa’id, hal. 104)
[12] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan perhatikanlah hikmah yang Allah ta’ala simpan di balik mengapa Allah menjadikan para raja, pemimpin, dan penguasa bagi manusia orang-orang yang serupa [buruknya] dengan perbuatan mereka (rakyat). Bahkan, seolah-olah amal perbuatan mereka itu terekspresikan di dalam sosok para penguasa dan raja-raja mereka. Apabila rakyat itu baik niscaya baik pula raja-raja mereka. Apabila mereka (rakyat) menegakkan keadilan niscaya para penguasa itu menerapkan keadilan atas mereka. Dan apabila mereka berbuat aniaya (tidak adil) maka raja dan penguasa mereka pun akan bertindak aniaya kepada mereka. Apabila di tengah-tengah mereka merebak makar (kecurangan) dan tipu daya, maka demikian pula pemimpin mereka. Apabila mereka tidak menunaikan hak-hak Allah dan pelit dengannya, demikian pula para penguasa mereka akan menghalangi hak-hak rakyat yang semestinya ditunaikan kepada mereka…” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 258 oleh Syaikh Muhammad Sa’id Raslan)
[13] Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sumber dari semua fitnah [kerusakan] adalah karena mendahulukan pemikiran di atas syari’at dan mengedepankan hawa nafsu di atas akal sehat. Sebab yang pertama merupakan sumber munculnya fitnah syubhat, sedangkan sebab yang kedua merupakan sumber munculnya fitnah syahwat. Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan kesabaran. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah: 24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan sabar dan keyakinan akan bisa dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang fitnah syahwat…” (lihat Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
[14] Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah mencakup dua jenis kekafiran; ashghar dan akbar, tergantung keadaan orang yang mengambil keputusan hukum. Apabila dia meyakini bahwa dia wajib menerapkan hukum Allah atas kejadian ini namun dia berpaling darinya karena maksiat dan di saat yang sama dia mengakui bahwa dirinya layak untuk menerima hukuman maka ini adalah kufur ashghar. Namun, apabila dia meyakini bahwa hal itu tidak wajib, atau dia bebas [untuk mengikutinya atau tidak, pent], sementara dia yakin bahwa itu adalah hukum Allah; maka ini adalah kufur akbar. Adapun apabila dia tidak tahu atau tersalah, maka orang ini terhitung sebagai pelaku kekeliruan -yang tidak disengaja- sehingga baginya berlaku hukum orang yang tak sengaja berbuat kesalahan.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/400])
[15] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menginginkan kejernihan hatinya hendaknya dia lebih mengutamakan Allah daripada menuruti berbagai keinginan hawa nafsunya. Hati yang terkungkung oleh syahwat akan terhalang dari Allah sesuai dengan kadar kebergantungannya kepada syahwat. Hancurnya hati disebabkan perasaan aman dari hukuman Allah dan terbuai oleh kelalaian. Sebaliknya, hati akan menjadi baik dan kuat karena rasa takut kepada Allah dan berdzikir kepada-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95)
[16] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang hamba mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada hati yang keras dan jauh dari Allah.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95).
[17] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sabar dan syukur menjadi sebab seorang hamba untuk bisa memetik pelajaran dari ayat-ayat yang disampaikan. Hal itu dikarenakan sabar dan syukur merupakan pondasi keimanan. Separuh iman itu adalah sabar, separuhnya lagi adalah syukur. Kekuatan iman seorang hamba sangat bergantung pada sabar dan syukur yang tertanam di dalam dirinya. Sementara, ayat-ayat Allah hanya akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan meyakini ayat-ayat-Nya. Imannya itu pun tidak akan sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur itu adalah tauhid. Adapun pokok kesabaran adalah meninggalkan bujukan hawa nafsu. Apabila seseorang mempersekutukan Allah dan lebih memperturutkan hawa nafsunya, itu artinya dia belum menjadi hamba yang penyabar dan pandai bersyukur. Oleh sebab itulah ayat-ayat yang ada menjadi tidak bermanfaat baginya dan tidak akan menumbuhkan keimanan pada dirinya sama sekali.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/145])
[18] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “…Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun dengan menjalankan syari’at yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan hawa nafsu maupun bid’ah…” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117)
[19] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanya bisa digapai dengan merespon seruan Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa yang tidak merespon seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya. Meskipun dia memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya antara dirinya dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan orang yang memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka hidup. Oleh karena itu orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling sempurna dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan terkandung unsur kehidupan sejati. Barangsiapa yang kehilangan sebagian darinya maka dia kehilangan sebagian unsur kehidupan itu, bisa jadi di dalam dirinya terdapat kehidupan sekadar dengan responnya terhadap ajakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat al-Fawa’id, hal. 85-86)
[20] Ibnul Qayyim berkata, “Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan [lihat QS. Al-Hadid: 25]. Diantara bentuk keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)