Hakikat Ilmu
[11] Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu itu diperoleh -semata-mata- dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakikat ilmu itu adalah khas-yah/rasa takut kepada Allah.” (lihat al-Fawa’id, hal. 142)
Niat Yang Lurus Dalam Menimba Ilmu
[12] Abu Abdillah ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu untuk mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71)
Ilmu, Amalan, dan Keikhlasan
[13] Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34)
Merasa Haus Akan Ilmu
[14] Qotadah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya setan tidak membiarkan lolos seorang pun di antara kalian. Bahkan ia datang melalui pintu ilmu. Setan membisikkan, “Untuk apa kamu terus menuntut ilmu? Seandainya kamu mengamalkan apa yang telah kamu dengar, niscaya itu sudah cukup bagimu.” Qotadah berkata: Seandainya ada orang yang boleh merasa cukup dengan ilmunya, niscaya Musa ‘alaihis salam adalah orang yang paling layak untuk merasa cukup dengan ilmunya. Akan tetapi Musa berkata kepada Khidr (yang artinya), “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau bisa mengajarkan kepadaku kebenaran yang diajarkan Allah kepadamu.” (QS. al-Kahfi: 66).” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/136])
Guru Yang Ideal
[15] Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya, “Kepada siapakah aku belajar?”. Beliau menjawab, “Hendaknya kamu belajar bersama orang yang dengan melihatnya mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia. Kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya, tidak dengan ucapannya semata.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71-72)
Keyakinan al-Qur’an Makhluk
[16] Abdullah putra Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya, dari Ibrahim bin Ziyad. Dia berkata: Suatu saat aku bertanya kepada Abdurrahman bin Mahdi. Aku katakan kepadanya, “Bagaimana pendapatmu mengenai orang yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk?”. Beliau menjawab, “Seandainya aku adalah penguasa atas dirinya, niscaya aku akan berdiri di atas jembatan dan tidak akan lewat seorang pun melainkan aku pasti menanyainya. Apabila dia mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, pastilah akan aku penggal lehernya dan kepalanya kulemparkan ke dalam sungai.” (lihat as-Sunnah li Abdillah ibn Ahmad ibn Hanbal [1/172])
[17] Abdullah putra Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya, dari Harun bin Ma’ruf. Beliau mengatakan, “Barangsiapa yang menyangka (berkeyakinan, pent) bahwasanya Allah tidak berbicara, sesungguhnya dia adalah orang yang memuja berhala.” (lihat as-Sunnah [1/172])
[18] Abdullah putra Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya, dari Ibnul Majisyun. Beliau berkata, “Barangsiapa yang mengatakan bahwasanya al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.” (lihat as-Sunnah [1/173])
Nilai Sebuah Keikhlasan
[19] Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata: Malaikat naik ke langit membawa amal seorang hamba dengan perasaan gembira. Apabila dia telah sampai di hadapan Rabbnya, maka Allah pun berkata kepadanya, “Letakkan ia di dalam Sijjin [catatan dosa], karena amalan ini tidak ikhlas/murni ditujukan kepada-Ku.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyah, hal. 45)
Sosok Yang Rabbani
[20] Imam Ibnul A’rabi rahimahullah mengatakan, “Tidaklah seorang ‘alim disebut sebagai ‘alim rabbani kecuali apabila dia telah menjadi orang yang [benar-benar] berilmu, mengajarkan ilmu, dan beramal -dengan ilmunya-.” (lihat Fath al-Bari [1/197] cet. Dar al-Hadits)
[21] al-Khathib meriwayatkan dari Mujahid, bahwa yang dimaksud dengan rabbani adalah para ahli fikih -orang-orang yang dalam ilmu agamanya- (lihat ‘Umdat al-Qari [2/64])
[22] Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menafsirkan bahwa rabbani adalah orang-orang yang memiliki ketenangan (hilm) dan fikih (pemahaman agama) yang mendalam. Dalam sebagian teks, beliau menafsirkan rabbani dengan ‘orang-orang yang memiliki sifat hikmah/bijak dan orang-orang yang fakih’ (lihat ‘Umdat al-Qari [2/65])