Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:
Kaidah Ketiga:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul di tengah-tengah umat manusia yang berbeda-beda dalam hal peribadatan. Diantara mereka ada yang menyembah malaikat, ada pula yang menyembah para nabi dan orang-orang salih. Selain itu, ada juga diantara mereka yang memuja batu dan pohon. Ada yang menyembah matahari dan bulan.
Meskipun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi mereka dan tidak membeda-bedakan mereka. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah (syirik) dan agama seluruhnya menjadi milik Allah.” (QS. Al-Anfal: 39)
[lihat Mu'allafat asy-Syaikh al-Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 201]
Penjelasan Global
Di dalam kaidah ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ingin menjelaskan kepada kita bahwa segala macam bentuk peribadatan kepada selain Allah adalah syirik, apa pun bentuknya dan kepada siapa pun ibadah itu dipersembahkan. Barangsiapa yang memalingkan ibadah kepada selain Allah maka itu adalah kemusyrikan. Dan demikian itulah keadaan umat manusia yang dihadapi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat beliau diutus untuk mendakwahi -bahkan memerangi- mereka.
Keadaan Umat Manusia Sebelum Diutusnya Rasulullah
Sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tengah umat manusia, maka mereka berada di dalam masa kegelapan, masa yang kita kenal dengan istilah zaman jahiliyah. Dimana umat manusia tenggelam dalam penyimpangan dan kebodohan.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Allah telah menganugerahkan kepada orang-orang yang beriman suatu karunia, yaitu ketika Allah mengutus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka. Dia membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan menyucikan diri mereka. Dia mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah, padahal sebelumnya mereka benar-benar berada di dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. Ali ‘Imran: 164) (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/158])
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Risalah adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi hamba. Mereka benar-benar membutuhkannya. Kebutuhan mereka terhadapnya jauh di atas segala jenis kebutuhan. Risalah adalah ruh, cahaya, dan kehidupan alam semesta. Maka kebaikan seperti apa yang ada pada alam tanpa ruh, tanpa cahaya, dan tanpa kehidupan?” (lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wa al-Jama’ah, hal. 78)
Ajakan Para Rasul Kepada Umat Manusia
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -sebagaimana para rasul sebelumnya- mengajak kepada manusia untuk menyembah kepada Allah saja dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul [yang menyerukan]: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum engkau seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan [yang benar] selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (QS. Al-Anbiya’: 25)
Ayat-ayat di atas menunjukkan, bahwa dakwah para rasul adalah demi menegakkan tauhid. Yaitu beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 709 dan 834 oleh Imam al-Baghawi rahimahullah)
Tanggapan Musyrikin Terhadap Dakwah Tauhid
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka merasa keheranan tatkala datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari kalangan mereka, dan orang-orang kafir itu pun berkata: Ini adalah tukang sihir dan pendusta. Apakah dia [Muhammad] hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja? Sungguh, ini adalah perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shod: 4-5) (bacalah kisah menarik mengenai tafsir ayat ini di dalam Ma’alim at-Tanzil, hal. 1105 oleh Imam al-Baghawi rahimahullah)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaaha illallah maka mereka pun menyombongkan diri. Mereka berkata: Akankah kami meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair yang gila.” (QS. Ash-Shaffat: 35-36)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikianlah, tidak datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul pun melainkan mereka (kaumnya) berkata: tukang sihir atau orang gila. Apakah mereka saling berpesan dengannya? Bahkan mereka itu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Adz-Dzariyat: 52-53)
Perintah Memerangi Orang Musyrik
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah (syirik) dan agama seluruhnya menjadi milik Allah.” (QS. Al-Anfal: 39)
Ayat di atas menunjukkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk memerangi orang-orang musyrik. Dan perintah ini bersifat umum mencakup semua golongan kaum musyrikin, apa pun bentuk sesembahan mereka. Oleh sebab itu tidak ada hujjah bagi orang-orang yang menyembah malaikat, nabi, wali, atau orang salih -apalagi yang menyembah batu dan pohon- untuk mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan sekarang ini berbeda dengan kaum musyrikin arab dahulu.
Sebab, pada hakikatnya perbuatan mereka di masa kini tidak berbeda dengan perbuatan kaum musyrikin arab dahulu. Kalau mereka beralasan hanya menjadikan wali atau orang salih sebagai perantara atau pemberi syafa’at di sisi Allah, maka demikian pula halnya kaum musyrikin arab jaman dahulu, tidak ada bedanya; sebagaimana sudah diterangkan pada kaidah sebelumnya. Allahul musta’aan.