[31] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang membiasakan dirinya untuk beramal ikhlas karena Allah niscaya tidak ada sesuatu yang lebih berat baginya daripada beramal untuk selain-Nya. Dan barangsiapa yang membiasakan dirinya untuk memuaskan hawa nafsu dan ambisinya maka tidak ada sesuatu yang lebih berat baginya daripada ikhlas dan beramal untuk Allah.” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 7)
[32] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tingginya cita-cita seseorang adalah tanda kebahagiaannya, sedangkan rendahnya cita-cita seseorang adalah tanda bahwa dia tidak akan menggapai kebahagiaan itu.” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 13)
[33] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Salah satu tanda ikhbat/ketundukan hati dan keikhlasan diri seseorang adalah tidak bergembira dengan pujian manusia dan tidak merasa sedih semata-mata dengan celaan mereka.” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 29)
[34] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sumber munculnya kesyirikan kepada Allah adalah kesyirikan dalam hal cinta. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang artinya), “Sebagian manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (QS. al-Baqarah: 165)” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 212)
[35] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sungguh sebuah perkara yang amat mengherankan tatkala kamu telah mengenal-Nya lantas kamu justru tidak mencintai-Nya. Kamu mendengar da’i yang menyeru kepada-Nya namun kamu justru berlambat-lambat dalam memenuhi seruan-Nya. Kamu menyadari betapa besar keuntungan yang akan dicapai dengan bermuamalah dengan-Nya namun kamu justru memilih bermuamalah dengan selain-Nya. Kamu mengerti betapa berat resiko kemurkaan-Nya namun kamu justru nekat membangkang kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa pedih kegalauan yang muncul dengan bermaksiat kepada-Nya namun kamu justru tidak mau mencari ketentraman dengan cara taat kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa sempitnya hati tatkala sibuk dengan ucapan selain-Nya dan meninggalkan pembicaraan tentang-Nya. Akan tetapi kamu tidak mencari kelapangan hati dengan berdzikir dan bermunajat kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa tersiksanya hatimu tatkala bergantung kepada selain-Nya namun kamu tidak meninggalkannya menuju kenikmatan pengabdian serta kembali bertaubat kepada-Nya. Dan yang lebih aneh lagi daripada itu semua adalah kesadaranmu bahwa kamu pasti membutuhkan-Nya dan Dia adalah Dzat yang paling kamu butuhkan, akan tetapi kamu justru berpaling dari-Nya dan mencari-cari sesuatu yang menjauhkan dari-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 45 cet. Dar al-’Aqidah)
[36] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sholat tanpa kekhusyu’an dan hati yang hadir seperti badan yang mati, tak ada ruh padanya.” (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 11)
[37] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kebenaran yang belum kita ketahui jumlahnya jauh berkali lipat lebih banyak daripada kebenaran yang sudah kita ketahui. Kebenaran yang sudah kita ketahui dan tidak ingin kita kerjakan kerena faktor meremehkan atau malas bisa jadi seimbang jumlahnya dengan kebenaran yang ingin kita kerjakan, atau bahkan jauh lebih banyak, atau kurang dari itu. Begitu pula, kebenaran yang tidak sanggup kita lakukan dibandingkan dengan yang sanggup kita lakukan pun demikian keadaannya. Kebenaran yang sudah kita ketahui secara global pun mungkin masih terlalu banyak yang tidak kita ketahui rinciannya. Oleh sebab itulah maka kita membutuhkan hidayah yang sempurna.” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 9)
[38] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Keberuntungan paling besar di dunia ini adalah kamu menyibukkan dirimu di sepanjang waktu dengan perkara-perkara yang lebih utama dan lebih bermanfaat untukmu kelak di hari akherat. Bagaimana mungkin dianggap berakal, seseorang yang menjual surga demi mendapatkan kesenangan sesaat? Orang yang benar-benar mengerti hakikat hidup ini akan keluar dari alam dunia dalam keadaan belum bisa menuntaskan dua urusan; menangisi dirinya sendiri -akibat menuruti hawa nafsu tanpa kendali- dan menunaikan kewajiban untuk memuji Rabbnya. Apabila kamu merasa takut kepada makhluk maka kamu akan merasa gelisah karena keberadaannya dan menghindar darinya. Adapun Rabb (Allah) ta’ala, apabila kamu takut kepada-Nya niscaya kamu akan merasa tentram karena dekat dengan-Nya dan berusaha untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34)
[39] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,“Perbedaan penting yang perlu diperhatikan bahwa siapa yang melakukan yang haram dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak melakukannya. Sedangkan yang meninggalkan perintah karena lupa, itu bukan alasan gugurnya perintah. Namun bagi yang mengerjakan larangan dalam keadaan lupa, maka itu uzur baginya sehingga tidak terkenai dosa.” (I’lamul Waqi’in, 2: 51)