Tsabit Al-Bunani berkata: “Abu Ubaidah pernah berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku hanyalah anak manusia dari suku Quraisy. Setiap ada di antara kalian yang lebih utama dariku karena ketakwaannya, pasti aku senang berada dalam lipatan kulitnya (senang menjadi orang bertakwa seperti dirinya)(Siyaru A’laamin Nubalaa’ I:18)
Dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’ dan yang lainnya diriwayatkan bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Ibnu Umar: “Wahai orang terbaik, atau anak dari orang terbaik!” Maka Ibnu Umar menjawab: “Aku bukanlah orang terbaik, juga bukan anak dari orang terbaik. Tapi aku hanyalah salah seorang hamba Allah yang selalu berharap-harap dan takut kepada-Nya. Demi Allah, kalau kalian bersikap seperti itu terus terhadap seseorang, kalian justru akan membuatnya binasa(Siyaru A’laamin Nubalaa’ III:236)
Di dalam Al-Hilyah disebutkan: Abul Asyhab meriwayatkan dari seorang lelaki yang konon bernama Al-Mutharrif bin Abdullah, bahwa ia berkata: “Tidur terlelap untuk kemudian bangun dengan penyesalan lebih aku sukai daripada semalaman shalat dan bangun pagi dengan perasaan ujub.” Adz-Dzahabi menegaskan: “Demi Allah, Allah tidak akan memberi kemenangan kepada orang yang menganggap suci dirinya sendiri atau bersikap ujub.(Siyaru A’laamin Nubalaa’ IV:190)
Dari Wahhab bin MUnabbih diriwayatkan bahwa ia berkata: “Camkanlah tiga hal yang kusampaikan ini: Waspadalah terhadap hawa nafsu yang dituhankan, teman yang jahat, dan keterpukauan dengan diri sendiri(Siyaru A’laamin Nubalaa’ IV:549)
Ahmad bin Abul Hawari berkata: “Abu Abdillah Al-Anthaqi telah menceritakan kepada kami, bahwa Al-Fudhail pernah berkumpul bersama Ats-Tsauri. Mereka berdua saling mengingatkan. Tiba-tiba Sufyan (Ats-Tsauri) tersentuh hatinya dan menangis. Kemudian beliau berkata: “Aku berharap majelis ini membawa rahmat dan berkah buat diri kita” Al-Fidhail menanggapi: :Namun justru aku khawatir kalau yang terjadi justru kebalikannya. Bukankah engkau telah mengungkapkan ucapanmu yang terbaik untuk diriku. Demikian juga aku telah mengungkapkan ucapan terbaikku untuk dirimu. Lalu engkau menganggap dirimu telah tampil baik di hadapanku, demikian juga aku merasa telah tampil baik dihadapanmu?” Maka Sufyan pun kembali menangis seraya berkata: “Sungguh engkau telah menghidupkan diriku. Semoga Allah menghidupkan dirimu.”(Siyaru A’laamin Nubalaa’ VIII:439)
Al-Imam Asy-Syafi’ie berkata: “Kalau kamu mengkhawatirkan sikap ujub atas amal perbuatanmu, ingatlah keridhaan siapakah yang menjadi tujuan amalmu? Di alam kenikmatan manakah engkau hendak berlabuh dan dari siksa yang manakah engkau hindarkan dirimu. Karena barangsiapa yang mengingat semua itu, semua amalannya akan nampak kecil di matanya.”(Siyaru A’laamin Nubalaa’ X:42)
Dari Said bin Abdurrahman bin Abu Hazim diriwayatkan bahwa ia berkata: “sesungguhnya seorang hamba biasa saja melakukan kebajikan yang di asenangi, namun Allah ternyata menjadikannya sebagai keburukan yang paling berbahaya buat dirinya. Ada kalanya seorang hamba melakukan keburukan yang ia benci, namun ternyta Allah menjadikan kebaikan yang paling bermanfaat yang tiada bandingnya bagi dirinya. Sebabnya, ketika si hamba melakukan kebajikan itu, ia bersikap takabbur, menganggap dirinya memiliki keutamaan yang tidak dimiliki orang lain. Bisa jadi dengan sebab itu Allah menggugurkan kebajikannya itu bersamaan dengan banyak kebajikan lainnya. Sementara ketika si hamba melakukan kejahatan yang dibencinya itu, bisa jadi Allah menumbuhkan rasa takut dalam dirinya; kemudian ia menghadap Allah dalam keadaan rasa takut yang masih tertanam di dalam hatinya(Shifatush Shafwah’ II:164)