Abu Qilabah berkata kepada Ayyub As Sakhtiyani, “Apabila kamu mendapat ilmu, maka munculkanlah keinginan ibadah padanya. Jangan sampai keinginanmu hanya untuk menyampaikan kepada manusia.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah 2/45, Muhammad Al-Maqdisy, Syamilah)
Ada orang yang berkata kepada Al-Ahnaf: “Anda betul-betul sudah tua, shaum itu dapat melemahkan tubuh anda.” Beliau menjawab: “Aku melakukannya sebagi bekal untuk perjalanan yang panjang.” Kebanyakan shalat yang dilakukan Al-Ahnaf adalah pada malam hari. Beliau biasa meletakkan jari tangan beliau pada lampu sambil berkata pada dirinya sendiri: “Auh, wahai Al-Ahnaf, apa yang mendorongmu untuk melakukan perbuatan anu di tempat anu.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’)
Dari Asad bin Wada’ah, dari Syaddad bin Aus diriwayatkan bahwa apabila ia berbaring hendak tidur, ia hanya dapat membolak-balikkan tubuhnya, namun tidak dapat tidur. Maka ia berucap: “Ya Allah sesungguhnya Naar itu membuatku tak bisa tidur.” Lalu ia bangun dan shalat hingga subuh.” (Shifatush Shafwah I:709)
Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan berkata: “Aku pernah mendengar Ashim bin Usham Al-Baihaqi berkata: “Suatu malam aku menginap di rumah Ahmad bin Hanbal. Suatu saat, beliau mengambil air dan meletakkannya di suatu tempat. Pagi harinya, beliau melihat air itu tidak berubah, sama dengan sebelumnya. Beliau lalu berkata: “Subhanallah, seorang yang menuntut ilmu, tetapi tidak melakukan ibadah di malam hari?!” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ XI:298)
Adz-Dzahabi meriwayatkan dengan sanadnya sendiri sampai kepada Al-Baghawi meriwayatkan: “Ibnu Janzuwaih (atau Janzuyah) telah menceritakan kepada kami: aku pernah mendengar Ibrahim bin Mahdi berkata: “anak perempuan seorang tetangga Manshur bin Al-Mu’tamir bertanya kepada ayahnya: “Wahai ayahku, dimana sekarang letak kayu yang biasa ditancapkan di atap rumah Manshur?” Ayahnya menjawab: “Wahai puteriku, itulah dia Manshur ! Ia biasa berdiri tegak (shalat) di malam hari.” (“Siyaru A’laamin Nubalaa’ V:4-3)
Wakie’ berkata, dari Al-A’masy , dari Sulaiman bin Maisarah dan Al-Mughirah bin Syibl, dari Thariq bin Syihab, dari Salman (Ia adalah salman Al-Farisi, seorang sahabat yang agung) diriwayatkan bahwa ia berkata: “Apabila datang malam, pada saat itu manusia terbagi menjadi tiga tingkatan: Ada orang yang memperoleh pahala dan tidak mendapat dosa, ada juga yang mendapat dosa dan tidak memperoleh pahala, ada juga orang yang tidak mendapat dosa tapi juga tidak memperoleh pahala.”
Beliau ditanya: “Kenapa bisa begitu?” Beliau menjawab: “Adapun orang yang memperoleh pahala dan tidak mendapat dosa, adalah orang yang memanfaatkan waktu malamnya di saat orang-orang sedang tidur pulas dan malam yang gelap untuk berwudhu kenudian mengerjakan shalat. Itulah orang yang memperoleh pahala dan tidak mengerjakan dosa. Sedangkan orang yang memanfaatkan waktu malamnya di saat orang-orang sedang tidur pulas untuk keluar dan melakukan kemaksiatan kepada Allah, itulah orang yang berdosa dan tidak mendapatkan pahala. Sementara orang yang tidur terus sampai pagi, itulah orang yang tidak berdosa tapi juga tidak memperoleh pahala.”
Thariq berkata; “Maka aku mengatakan: “Kalau begitu aku ingin menemani orang ini (salman) yang pertama itu.” Suatu hari ada beberapa orang yang bepergian, beliaupun (Salman) ikut bersama mereka dan aku turut menemani beliau, sementara aku tidak menganggap beliau lebih baik amalannya dibanding diriku. Apabila aku mengadon tepung, beliau yang mencetaknya menjadi roti. Apabila aku yang mencetaknya menjadi roti, beliau yang memasaknya. Maka kamipun singgah di sebuah rumah dan menginap di sana.
Thariq menyisakan waktu malamnya untuk shalat. Aku (Thariq) selalu menunggu-nunggu waktu itu, namun setiap kali aku lihat, beliau selalu sedang tertidur. Akupun berkata dalam hati: “Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang ebih baik dariku, tetapi mengapa tidur saja?” akupun tidur lagi. Ketika kembali terbangun, kulihat beliau juga masih tidur. Hanya saja, ketika tengah malam, aku mendengar beliau mengucapkan sambil berbaring: “Subhanallah, Walhamdulillah, Wa Laailaha Illallahu Wallahu Akbar. Laa ilaaha Illallahu wahdahu Laa Syarikalah, Lahul Mulku Walahul Hamdu Wa Huwa ‘Ala Kulli Syaiin Qadier.” Sampai ketika menjelang Shubuh, beliau bangun, berwudhu dan shalat empat rakaat.
Ketika kami usai shalat Shubuh, aku bertanya: “Wahai Abu Abdillah, aku biasa bangun malam. Tadi malam ketika aku bangun, kudapati engkau dalam keadaan tertidur.” Beliau menanggapi: “Wahai Saudaraku, apakah engkau mendapatiku mengatakan sesuatu?” Akupun memberitahukannya kepada beliau.
Beliau kembali menimpali: “Wahai Saudaraku, itulah Shalatku. Sesungguhnya shalat lima waktu itu mengandung pengampunan dosa di antara shalat yang satu dengan yang lainnya, selama kita menghindari dosa besar. Wahai saudaraku, hendaknya kamu sedang-sedang saja dalam beribadah, itulebih mengena.” (“Siyaru A’laamin Nubalaa'” I:549,550)
Sumber : Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa : Abu Umar Basyir Al-Medani