Dari Humaid Ath-Thawiel, dari Abu Qilabah diriwayatkan bahwa ia berkata: “Apabila ada kabar yang tidak mengenakkan dari saudaramu sesama muslim, carilah hal yang dapat memaafkannya sebisa kamu, kalau kau tak dapati alasan yang tepat, katakan kepada dirimu sendiri: “Mungkin saudaraku ini memiliki alasan yang tidak aku ketahui.” (“Shifatush Shafwah”III:237)
Dari Raja bin Haiwah diriwayatkan bahwa ia berkata: “Barangsiapa yang hanya bersahabat dengan orang yang (menurutnya) tidak tercela, akan sedikit sahabat yang dimilikinya. barangsiapa yang hanya mengharapkan keikhlasan dari sahabatnya, ia akan banyak mendongkol. Dan barangsiapa yang mencela sahabatnya atas setiap dosa yang dilakukan mereka, akan banyak memiliki musuh.” (“Siyaru A’laamin Nubalaa’ IV:557)
Dari Abu Ya’qub Al-Madani diriwayatkan bahwa ia berkata: “Konon pernah ada persoalan antara Hasan bin Hasan dengan Ali bin Al-Husein. Hasan bin Hasan mendatangi Ali bin Al-Husein yang kala itu sedang bersama teman-temannya di masjid. Ia mengungkapkan segala uneg-uneg yang ada kepadanya. Sementara Ali sendiri terdiam. Maka Hasan pun pergi dan pada malam harinya, Ali mendatangi rumahnya. Ia mengetuk pintu rumah Hasan. Setelah Hasan keluar, Ali berkata: “Wahai saudaraku, kalau apa yang engkau katakan kepadaku benar adanya, semoga Allah mengampuniku. Namun kalau yang engkau katakan tidaklah benar, semoga Allah mengampunimu. As-Salaamu’alaikum.” Setelah itu ia berlalu. Perawi menyebutkan; “Setelah itu Hasan mengikutinya dan memeluknya dari belakang sambil menangis sampai terseguk-seguk. Kemudian ia berkata: “Sudah selesai masalahnya. Aku tidak akan melakukan lagi hal yang tidak engkau senangi.” Ali membalas: “Engkau juga sudah kumaafkan atas apa yang telah engkau katakan kepadaku.” (“Shifatush Shafwah” II:94)
Yunus Ash-Shadafi pernah menyatakan: “Aku tidak pernah mendapatkan orang yang lebih jenius dari Imam Syafi’ie, Suatu hari aku berdiskusi dengan beliau tentang satu persoalan, namun kami tidak menemukan titik temu. Beliau lalu menemuiku lagi dan menggandeng tanganku seraya berkata: “Wahai Abu Musa, apakah tidak sepantasnya kita untuk tetap bersaudara, meskipun kita tidak menemukan titik temu di antara kita dalam satu masalah?” (“Siyaru A’laamin Nubalaa'” X:16)
Dari Yunus bin Abdul A’la diriwayatkan bahwa ia berkata: “Asy-Syafi’ie pernah berkata kepadaku: “Wahai Yunus, apabila engkau mendengar kabar yang tidak mengenakkan dari seorang teman, janganlah lantas terburu memusuhinya dan memutus hubungan tali kasih. Karena dengan demikian engkau akan termasuk orang yang menghilangkan keyakinannya dengan keraguan. Tetapi yang benar, temuilah dia, dan katakan kepadanya: “Aku mendengar engkau mengatakan begini dan begini. Ingat, jangan sebutkan secara mendetail. Apabila ia mengelak, katakan kepadanya: “Engkau lebih benar dan lebih baik dari yang kudengar.” Dan jangan perpanjang lagi urusannya. Tapi kalau ia mengakuinya, dan kamu bisa melihat ada yang bisa dijadikan alasan baginya dalam hal itu, terimalah alasan itu. Namun apabila engkau juga tidak mendapatkan alasan apapun baginya, sementara amat sulit jalan untuk mendapatkannya, engkau bisa tetapkan bahwa ia melakukan kesalahan. Setelah itu, engkau bisa memilih: kalau engkau mau, engkau bisa membalas dengan yang setara dengan perbuatannya tanpa menambah-nambah, dan kalau engkau mau, engkau bisa memaafkannya. Dan memaafkannya berarti lebih dekat dari ketakwaan dan lebih menunjukkan kemuliaanmu. Sebagaimana Firman Allah:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tangguangan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” (Asy-Syura : 40).
Kalau dengan balasan yang setimpal engkau masih mendapat tantangan dari dirimu sendiri, pikirkanlah kembali kebaikan-kebaikannya di masa lampau, hitung semuanya, lalu balaslah kejahatannya sekarang dengan kebaikan. Janganlah karena kejahatannya, engkau melupakan kebaikannya yang terdahulu. Karena yang demikian itu adalah kezhaliman yang sesungguhnya, wahai Yunus. Apabila engkau memiliki teman, gandenglah dengan tanganmu erat-erat, karena mencari teman itu susah, dan berpisah dengannya itu perkara mudah.” (“Shifatush Shafwah II:252,253″)
Sumber: Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa: Abu Umar Basyir Al-Medani