Al Hikmah

Al-Waqidi berkata “Bakar bin Abu Sabrah telah menceritakan kepada kami, Dari Abdul Majied bin Suheil, dari Auf bin Al-Harits: “Aku pernah mendengar Aisyah berkata: “Ummu Habibah pernah memanggilku ketika menghadap kematianya. Ia berkata: “Di antara kita pernah dan selalu terjadi hal-hal yang biasa terjadi antara istri yang dimadu. Semoga Allah mengampuniku dan mengampuni dirimu atas segala yang telah terjadi.” Aku membalas: “Semoga Allah mengampuni seluruh kesalahanmu dan menghapus seluruhnya.” Maka ia berkata: “Engkau telah mengggembirakan diriku, semoga Allah menggembirakan engkau juga.” Kemudian ia pun memanggil Ummu Salamah dan mengatakan yang serupa kepadanya.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ II:223)

Dari Umar bin Dzarr diriwayatkan bahwa ia berkata: “Atha bin Abu Rabbah telah menceritakan kepada kami, ia berkata: “Fathimah istri Umar bin Abdul Aziz telah menceritakan kepada kami, bahwa ia pernah menemui suaminya di mushalanya, dalam keadaan tangannya memegang kedua pipinya, sementara air matanya meleleh. Akupun bertanya: “Wahai Amirul Mukminin, apakah ada sesuatu yang terjadi?” Beliau menjawab: “Wahai Fathimah, sesungguhnya aku diberi tugas memimpin umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka akupun langsung memikirkan orang-orang miskin yang tak memiliki pakaian dan kesusahan, orang-orang yang dizhalimi dan ditindas, orang-orang perantauan yang kehabisan bekal, orang-orang jompo, dan orang-orang yang banyak anggota keluarganya di berbagai belahan bumi ini. Akupun tahu bahwa Allah pasti akan menanyakan aku tentang diri mereka, dan yang akan kuhadapi di belakang mereka nanti adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Akupun takut, kalau aku tidak memiliki hujjah yang kuat untuk menghadapi beliau. Aku kasihan pada diriku sendiri. “maka beliau pun menangis lagi.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ V:131,132)

Dari Musa bin Uqbah diriwayatkan bahwa ia berkata: “Ketika Iyyadh bin Ghanam diangkat sebagai gubernur, datanglah sanak keluarganya untuk meminta disambungkan tali silaturahmi mereka. Beliaupun menyambut mereka dengan wajah ceria, melayani mereka dan menghormati mereka. Mereka semua tinggal berhari-hari di rumahnya. Setelah itu mereka mengajaknya berbicara tentang hubungan mereka. Mereka juga mengabarkan berbagai kesulitan yang mereka dapatkan di perjalanan demi keinginan untuk menyambung silaturahmi dengan beliau. Beliau lalu memberikan kepada masing-masing meeka sepuluh dinar. Jumlah mereka semuanya lima orang. namun mereka menolak, marah dan mencaci beliau. Beliau lalu berkata: “Wahai kemenakan-kemenakanku, saya tidak mengingkari hubungan kerabat kalian dengan saya, hak kalian dan kesulitan yang kalian dapatkan di perjalanan. Akan tetapi demi Allah, aku hanya dapat memberikan apa yang kalian terima tadi dengan menjual budakku dan menjual semua barang yang tak begitu kubutuhkan. Berilah aku maaf.” Mereka menanggapi: “Demi Allah, Allah tidak akan memaafkanmu? Bukankah engkau telah memiliki separuh negeri Syam, tetapi engkau hanya memberikan kepada seorang diantara kami jumlah uang yang hanya dengan susah payah baru bisa mengembalikan dirinya ke tengah keluarganya?” Beliau balik bertanya: “Apakah kalian menginginkan aku untuk mencuri harta Allah? Demi Allah, bila aku dibelah dengan gergaji, itu lebih aku sukai daripada mengkorupsi uang meski sepeser, atau menggunakannya tidak pada tempatnya.” “Mereka menanggapi: “Baiklah, untuk apa yang engkau miliki sendiri kami bisa memakluminya. Tetapi berilah kami pekerjaan, sehingga kami bisa melakukan seperti yang dilakukan orang lain kepadamu, dan memperoleh gaji sebagaimana yang mereka peroleh.” Beliau menjawab: “Demi Allah, aku mengetahui keutamaan dan kebaikan kalian. Tetapi bagaimana bila terdengar oleh Umar bahwa aku mempekerjakan orang-orang dari kerabatku sendiri, bukankah dia akan mencaci diriku?” Mereka berkata: “Abu Ubaidah juga telah mempekerjakan dirimu, sementara antara engkau dengan dia juga ada hubungan kerabat, ternyata Umar mengabulkannya. Bila engkau mempekerjakan kami, niscaya beliau juga akan mengijinkannya” Beliau menjawab: “Di sisi Umar, aku bukanlah seperti Abu Ubaidah.” Merekapun pergi berlalu dengan kesal.” (Shifatush Shafwah I:669,670)

Sumber: Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa: Abu Umar Basyir Al-Medani
 
Top