Abu Qilabah berkata kepada Ayyub As Sakhtiyani, “Apabila kamu mendapat ilmu, maka munculkanlah keinginan ibadah padanya. Jangan sampai keinginanmu hanya untuk menyampaikan kepada manusia.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah 2/45, Muhammad Al-Maqdisy, Syamilah)
Dari Muhammad bin Sirin diriwayatkan bahwa ia berkata: Pada masa pemerintahan Itsman Bin Affan, harga pokok kurma mencapai seribu dirham. Maka Usamah (Beliau adalah Usamah bin Zaid bin Haritsah, orang kesayangan Nabi shallallahu’alaihi wasalalm dan juga anak dari orang kesayangan beliau. Ibu beliau adalah Ummu Aiman, orang yang merawat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam di masa kecilnya) mengambil dan menebang sebatang pokok kurma dan mencabut umbutnya (yakni bagian di ujung pokok kurma yang berwarna putih, berlemak berbentuk seperti punuk unta, biasa dimakan bersama madu) lalu diberikan kepada ibunya untuk dimakan. Orang-orang bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau melakukan hal itu, padahal engkau tahu bahwa pokok kurma kini harganya mencapai seribu dirham?” Beliau menjawab: “Ibuku menghendakinya. Setiap ibuku menginginkan sesuatu yang mampu kudapatkan, aku pasti memberikannya.” (“Shifatush Shafwah” I : 522)
Dari Abdullah bin Al-Mubarak diriwayatkan bahwa ia berkata: “Muhammad bin Al-Munkadir pernah berkata: “Umar (yakni saudaranya) suatu malam melakukan shalat, sementara aku memijit-mijit kaki ibuku. Aku tidak ingin kalau malamku kugunakan seperti malamnya.” (“Shifatush Shafwah” II:143)
Dari Hisyam bin Hissan, dari Hafshah binti Sirin diriwayatkan bahwa ia berkata: “Muhammad, apabila menemui Ibunya, tidak pernah berbicara dengannya, dengan mengumbar omongan, demi menghormati ibunya tersebut.” (“Shifatush Shafwah” III:245)
Dari Ibnu Aun diriwayatkan bahwa ia berkata: “Suatu hari ibunya memanggil beliau , namun beliau menyambut panggilan itu dengan suara yang lebih keras dari suara ibunya. Maka beliau segera membebaskan dua orang budak.”(“Siyaru A’laamin Nubalaa'” VI:366)
Abdurrahman bin Ahmad meriwayatkan dari ayahnya, bahwa ada seorang wanita yang datang menemui Baqii dan berkata: “Sesungguhnya anakku ditawan, dan saya tidak memiliki jalan keluar (untuk membebaskannya -ed). Bisakah anda menunjukkan saya orang yang dapat menebusnya; saya sungguh sedih sekali.” Beliau menjawab: “Bisa. Pergilah dahulu, biar aku cermati persoalannya.” Kemudian beliau menundukkan kepalanya dan berkomat-kamit.
Setelah lama berselang, wanita itu telah datang dengan anak lelakinya tersebut. Si anak bercerita; “Tadi aku masih berada dalam tawanan seorang raja. Ketika saya sedang bekerja paksa, tiba-tiba rantai di tanganku terputus. Ia menyebutkan hari dan jam dimana kejadian itu terjadi. Ternyata tepat pada waktu Syakh Baqii sedang mendoakannya. Anak itu melanjutkan kisahnya: “Maka petugas di penjara segera berteriak, lalu melihatku dan terbingung-bingung. Kemudian mereka memanggil tukang besi dan kembali merantaiku. Selesai ia merantaiku, akupun berjalan, tiba-tiba rantaiku sudah putus lagi. Merekapun terbungkam. Mereka lalu memanggil para pendeta mereka. Para pendeta itu bertanya: “Apakah engkau memiliki ibu?” Aku menjawab: “Iya.” Merekapun berkata: “Mungkin doa ibunya pas terkabul.”
Kejadian itu diceritakan kembali oleh Al-Hafizh Hamzah As Sahmi, dari Abul Fath Nashr bin Ahmad bin Abdul Malik. Ia berkata: “Aku pernah mendengar Abdurrahman bin Ahmad menceritakannya kepada ayahku: … lalu menuturkan kisahnya. Namun dalam kisahnya disebutkan, bahwa mereka berkata: “Allah telah membebaskan kamu, maka tidak mungkin lagi kami menawanmu.” Mereka lalu memberiku bekal dan menghantarkan aku pulang.” (“Siyaru A’laamin Nubalaa'” XIII:290)
Sumber: Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa: Abu Umar Basyir Al-Medani