Abdurrazzaq berkata: “Aku pernah mendengar An-Nu’man bin Az-Zubeir Ash-Sha’ani menuturkan bahwa Muhammad bin Yusuf atau Ayyub bin Yahya pernah mengutus seseorang untuk menemui Thawus dengan membawakan tujuh ratus atau lima ratus dinar. Maka kepada utusan itu dipesankan: “Kalau Syaikh (Thawus) mengambilnya, maka sang Amier akan berterima kasih kepadamu dan akan menghadiahimu pakaian. Maka utusan itu segera menyerahkannya kepada Thawus Al-Janad. Utusan itu menghendaki agar Thawus sudi menerimanya. Namun ternyata beliau menolak. Ketika Thawus lengah, si utusan memasukkan uang itu ke lubang angin di rumah beliau. Kemudian utusan itu pergi dan mengatakan kepada orang banyak:”Dia telah mengambilnya.”
Suatu saat, mereka mendengar kabar yang tidak mengenakkan dari Thawus. Maka sang Amir berkata: “Kirim utusan lagi kepadanya, dan katakan kepadanya supaya mengembalikan uang yang diberikan kepadanya.” Maka utusan itupun mendatangi beliau dan berkata: “Mana uang yang dikirimkan Amier kami kepadamu?” Beliau menjawab: “Aku tidak pernah menerima uang darinya sedikitpun.” Utusan itupun pulang, dan mereka pun mengetahui bahwa apa yang dikatakannya benar. Maka mereka lalu mengutus orang yang diutus kepada beliau pertama kali. “Di mana uang yang pernah kuberikan kepadamu?” Tanyanya. “Apakah aku pernah mengambil sesuatu darimu?” Beliau balik bertanya. Ia menjawab: “Memang tidak.” Kemudian lelaki itu melihat ke tempat di mana ia meletakkan uang itu. ia julurkan tangannya. Ternyata ia dapati pundi uang itu telah diselubungi sarang laba-laba. Maka iapun membawanya kembali kepada mereka.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ V:40)
Dari Ma’mar bin Sulaiman, dari Furaat bin As-Saib, dari Maimun bin Mihran diriwayatkan bahwa ia berkata: “Tiga hal yang jangan sampai menimpa dirimu: Jangan kalian mendekati penguasa, meskipun kamu bisa mengatakan: “Aku akan mengaturnya dalam ketaatan kepada Allah. “Janganlah kamu mendengarkan ucapan Ahli Bid’ah. Karena kamu tidak menyadari ucapannya yang menempel di hatimu. Dan janganlah kamu masuk ke tempat seorang perempuan, meski kamu bisa beralasan: “Saya akan mengajarkan Kitabullah.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ V:77)
Katsier bin Yahya meriwayatkan dari ayahnya, bahwa ia berkata: “Sulaiman bin Abdul Malik datang ke kotam Madinah ketika Umar bin Abdul Aziz bertugas di sana. Ia shalat Zhuhur berjama’ah di masjid kemudian membuka pintu kamar di masjid itu dan bersandar ke mihrabnya sambil menghadapkan wajahnya ke arah orang banyak. Tiba-tiba ia melihat Shafwan bin Sulaim. Ia bertanya kepada Umar: “Siapakah lelaki itu? Aku tidak pernah melihat orang yang lebih berwibawa daripadanya.” Beliau menjawab: “Itu adalah Shafwan.” Maka Sulaiman berkata kepada pelayannya: “Tolong ambilkan sekantung uang limaratus dinar.”
Setelah uang itu diambilkan, beliau berkata kepda pelayannya: “Tolong berikan uang ini kepada orang yang sedang shalat itu.” Pelayan itu segera mendekati Shafwan yang kala itu sedang shalat. Setelah salam, ia menengok ke arah pelayan itu dan bertanya: “Ada yang bisa kubantu?” Si pelayan menjawab: “Amirul Mukminin mengatakan, engkau bisa menggunakan uang ini untuk keperluanmu sewaktu-waktu dan untuk kebutuhan keluargamu.” Ia berkata: “Bukan aku orang yang diperintahkan Sulaiman untuk diberikan uang itu.” Pelayan itu menegaskan: “Bukankah Anda yang bernama Shafwan bin Sulaim? Ia menjawab: “Betul.” Kalau begitu, aku memang disuruh memberikan uang ini kepadamu.” Ia kembali berkata: “Coba pulang dan konfirmasikan lagi.” Lelaki itupun berlalu. Shafwan segera mengambil sandalnya dan keluar dari masjid. Semenjak itu, ia tidak pernah terlihat lagi sampai Sulaiman keluar dari kota Madinah.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ V:368)
Dari Hisyam bin Abbad diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku pernah mendengar Ja’far bin Muhammad berkata: “Para ahli fikih adalah pemegang amanah para Rasul. Apabila engkau melihat Ahli Fikih yang sudah condong kepada penguasa, maka curigailah.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ VI:262)
Dari Fudhail bin Iyyadh diriwayatkan bahwa ia berkata: “Ibnul Mubarak pernah ditanya: “Siapakah manusia itu?” Beliau menjawab: “Para ulama.” Beliau ditanya lagi: “Lalu siapakah para raja itu?” Beliau menjawab: “Orang-orang zuhud. ” Lalu siapakah orang yang hina itu?” Beliau menjawab: “Orang yang mencari makan dengan menggunakan agamanya.” (Shifatush Shafwah IV:140)
Sumber: Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa : Abu Umar Basyir Al-Medani