Al Hikmah

Syu’bah dan Hisyam berkata: “Diriwayatkan dari Qatadah, dari Yunus bin Jubeir bahwa ia berkata: “Kami menjenguk Jundub.” Aku berkata kepadanya: “Berilah kami nasehat!” Beliau berkata: “Saya nasehatkan kamu sekalian agar bertakwa kepada Allah, saya nasehatkan juga agar kalian membaca dan mempelajari Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia adalah cahaya di malam yang gelap dan petunjuk di siang hari. Amalkanlah ajarannya, dengan segala konsekuensi susah dan lelahnya. Apabila harus berhadapan dengan cobaan, dahulukan kepentingan agamamu dari kepentingan duniamu. Apabila cobaan berlau, dahulukan kepentingan agamamu meski harus mengorbankan diri dan hartamu. Sesunggguhnya orang yang rusak adalah yang merusak agamanya dan orang yang merugi adalah orang yang terampok agamanya. Ketahuilah, tidak ada lagi kesulitan sesudah engkau masuk Jannah dan tidak ada kebahagiaan lagi sesudah engkau masuk Naar.(Siyaru A’laamin Nubalaa’ III:174)

Dari Abu Ja’far Al-Albani diriwayatkan bahwa ia berkata: “Ketika Ahmad digiring ke khalifah Makmun, aku diberikan kabar. Maka aku menyebrangi sungai Furat. Tiba-tiba beliau sudah duduk di penginapan. Akupun memberikan salam kepadanya. Beliau berkata: “Wahai Abu Ja’far, apakah engkau menanti nanti?” Aku berkata: “Begini, Anda sekarang ini adalah pemimpin ummat, sementara orang-orang hanya mengikuti Anda saja. Demi Allah, seandainya Anda menjawab bahwa Al-Qur’an itu makhluk, merekapun akan membenarkannya juga. Kalau Anda tidak menyatakan demikian kalaupun orang itu (khalifah Al-Ma’mun -ed) tidak membunuh Anda, Anda toh pasti akan mati juga. Maka bertakwalah kepada Allah, dan jangan dibenarkan permintaannya. Maka Imam Ahmad pun menangis dan berkata: “Masya Allah.” Selanjutnya beliau berkata: “Wahai Abu Ja’far, ulangi perkataan itu.” Akupun mengulanginya, sementara beliau terus mengatakan: “Masya Allah.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ XI:239)

Shalih bin Ahmad berkata: “Ayahku (Imam Ahmad -ed) dan Muhammad bin Nuh digiring dari Baghdad dalam keadaan terikat. Kami bersabar mendengar beliau dibawa hingga ke Al-Anbaar. Abu Bakar bin Al-Ahwal bertanya kepada ayahku: “Wahai Abu Abdillah (Imam Ahmad -ed), bagaimana bila anda diancam dengan pedang (diancam dibunuh -ed), apakah Anda bersedia membenarkannya?” Beliau menjawab:”Tidak. “Kemudian beliau kembali diarak. Aku mendengar ayahku menyatakan: “Kamipun dibawa menuju Ruhbah (lapangan milik Malik bin Thauq yang terletak antara Baghdad dan Riqqah). Dari sana, kami diberangkatkan lagi pada tengah malam. Tiba-tiba lewat di hadapan kami seorang lelaki dan bertanya: “Siapa di antara kalian yang bernama Ahmad bin Hambal?” Ada yang bilang: “Ini orangnya.” Maka orang itu berkata kepada penuntun untanya: “Coba tunggu dulu.” Setelah itu ia berkata: “Begini, tidak mengapa anda terbunuh di sini, karena Anda akan masuk Jannah!” Lalu ia berkata lagi: “Aku serahkan Anda kepada Allah.” Kemudian ia berlalu. Akupun bertanya tentang lelaki itu. Ada yang mengabarkan bahwa ia orang Arab dari suku Rabi’ah yang biasa membuat wol atau kain dari bulu domba di daerah pedusunan, ia bernama Jabir bin Amir. Ia dikenal sebagai orang yang baik.” (“Siyaru A’laamin Nubalaa'” XI:241)

Dari Ahmad bin Al-Hawari: Ibrahim bin Abdillah telah menceritakan kepada kami, ia berkata: “Ahmad bin Hambal berkata: “Semenjak aku terperangkap dalam urusan ini, aku belum pernah mendengar ucapan yang lebih mengena daripada ucapan yang dilontarkan oleh seorang badui yang mengajakku berbicara di lapangan di daerah Thauq. Lelaki itu berkata: “Wahai Ahmad, kalau Anda mati demi kebenaran, Anda akan mati syahid, kalau Anda hidup, Anda akan hidup dengan kemuliaan.” Maka hatikupun bertambah kuat.” (“Siyaru A’laamin Nubalaa'” XI:241)

Hambal berkata: “Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah berkata: “Aku tidak pernah melihat orang yang masih sedemikian muda dan bekal ilmu apa adanya yang lebih konsekuen dengan hukum Allah daripada Muhammad bin Nuh. Aku berharap beliau telah menutup kehidupannya dengan kebaikan. Suatu hari dia berkata kepadaku: “Wahai Abu Abdillah, demi Allah, demi Allah, Anda tidaklah sama dengan saya. Anda adalah orang yang dijadikan panutan. Orang-orang semuanya mendongakkan kepalanya melihat Anda, terhadap apa yang akan anda perbuat. Maka bertakwalah dan tetaplah di jalan Allah (atau yang semakna dengan itu).” Lalu iapun meninggal dan akupun menyalati dan menguburkannya. Kira-kira beliau berkata: “Peristiwa itu terjadi di ‘Anah. (“Siyaru A’laamin Nubalaa'” VI:242)

Sumber : Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa : Abu Umar Basyir Al-Medani
 
Top