Abu Qilabah berkata kepada Ayyub As Sakhtiyani, “Apabila kamu mendapat ilmu, maka munculkanlah keinginan ibadah padanya. Jangan sampai keinginanmu hanya untuk menyampaikan kepada manusia.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah 2/45, Muhammad Al-Maqdisy, Syamilah)
Diriwayatkan dalam “Az-Zuhd” karya Ibnul Mubarak : Ma’mar telah menceritakan kepada kami, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya bahwa i aberkata; “Umar pernah datang ke Syam dan disambut oleh kalangan birokrat pemerintahan dan kaum bangsawan. Beliau bertanya: “Di mana saudaraku Abu Ubaidah?” Mereka menjawab: “sekarang ia tengah mendatangi and.” Lalu datanglah Abu Ubaidah dengan mengendarai unta yang bertali kekang, seraya memberi salam. Kemudian ia berkata kepada orang banyak: “Silakan kalian meninggalkan kami dahulu. Lalu beliau (Umar) pergi bersama Abu Ubaidah menuju rumahnya. Beliau singgah di rumahnya, ternyata beliau hanya melihat pedang, perisai dan hewan tunggangan yang terdapat dalam rumah itu. Umar berkata: “Kenapa engkau tidak mengusahakan perkakas untuk rumahmu? Dalam riwayat lain: “Kenapa engkau tidak mengusahakan perkakas untuk rumahmu? Dalam riwayat lain: “Kenapa engkau tidak mengusahakan sesuatu? “Ia menjawab: “Wahai amirul Mukminin, semua inilah yang akan menghantarkan kita menuju liang kubur”. (Siyaru A’laamin Nubalaa’ I:16)
Dari Nu’aim bin Hammad diriwayatkan bahwa ia berkata: “Ibnul Mubarak telah menceritakan kepada kami: Muhammad bin Mutharrif telah menceritakan kepada kami: Muhammad bin Mutharrif telah menceritakan kepada kami: Abu Hazim telah menceritakan kepada kami, dari Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’, dari Malik Ad-Daar bahwa Umar Radhiallahu ‘anhu pernah mengambil uang empat ratus dinar, sambil mengatakan kepada pelayannya: “Tolong berikan ini kepada Abu Ubaidah. Kemudian tunggulah beberapa saat di rumahnya agar kamu menyaksikan apa yang akan dia lakukan.” Perawi melanjutkan: “Maka pelayan itupun berangkat membawa uang tersebut. Setelah sampai, ia berkata kepada Abu Ubaidah: “Amirul Mukminin menitahkan, agar anda mengambil uang ini. ” Abu Ubaidah menanggapi: ‘Semoag Allah memanjangkan rezekinya dan memberikan rahmat kepadanya.” Kemudian ia berkata: “Wahai jariyah (budak wanita), kemarilah! yang tujuh dinar ini berikan kepada si Fulan, dan yang lima dinar ini kepada si Fulan. “Demikian ia lkukan terus hingga habis uang tersebut. Pelayan itupun pulang menemui Umar dan memberitahukan kejadian tersebut. Ternyata Umar telah menyiapkan uang sejumlah itu juga kepada Mu’adz bin Jabal. Pelayan itu kembali mengantarkan uang itu kepada Mu’adz. Mu’adz lalu berkata :”Semoga Allah menyambungkan rezeki beliau. “Wahai pelayan,tolong pergi dan antarkan ini ke rumah si Fulan, dan ini ke rumah si Fulan. Tiba-tiba istri Mu’adz menyela: “Kita kan juga orang miskin, tolong sisihkan bagian kita!” Namun dalam buntal kain itu hanya tersisa dua dinar, Mu’adz pun melemparkan dua dinar itu kepadanya. Si pelayanpun kembali dan memberitahukan kejadian itu kepada Umar. Beliaupun nampak gembira seraya berkata: “Mereka memang saling bersaudara yang satu dengan yang lainnya.(Siyaru A’laamin Nubalaa’ I:456)
Dari Abdurrahman bin Yazid dari Abdullah bin Mas’ud diriwayatkan bahwa ia berkata: “Kamu sekalian lebih banyak shalat dan lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah dari para Sahabat Muhammad Sallallahu’alaihi wasallam, padahal mereka itu lebih utama daripada kalian.” Beliau ditanya: “Dengan apa mereka lebih diutamakan?” Beliau menjawab: “Karena lebih zuhud terhadap dunia dan lebih mencintai akhirat dibandingkan kamu sekalian.(Siyaru A’laamin Nubalaa’ I:420)
Qatadah menceritakan: “Ketika Amir (yakni Abu Abdillah amir bin Abi Qais At-Tamimi Al-Bashri, termasuk kalangan At-Tabi’ien. Ka’ab bin Al-Ahbar pernah melihatnya dan berkomentar:”Ini adalah orang shalihnya umat ini) menjelang wafat, beliau menangis. Beliau ditanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab: “Aku menangis bukan karena takut mati dan cinta dunia. Yang kutangisi adalah kurangnya shaumku di siang hari dan shalatku di malam hari.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ IV:19)
Dari Ibrahim bin Syabib bin Syaibah diriwayatkan bahwa ia berkata: “Suatu saat kami tengah duduk-duduk di hari Jum’at. Tiba-tiba datang seorang lelaki yang mengenakan sehelai kain yang yang menyelimuti dirinya. Lelaki itu duduk di dekat kami dan mengungkapkan satu persoalan, sementara kala itu kami masih sibuk membicarakan soal fikih hingga kami bubar. Pada Jumat berikutnya, lelaki itu datang lagi, lalu kami jawab pertanyaannya. Setelah itu kami menanyakan tempat tinggalnya. Lelaki itu menjawab: “Saya tinggal di Harbiyyah. Lalu kami menanyakan kuniyahnya. Ia menjawa: “Abu Abdillah. “Kami merasa senang berada satu majelis dengannya. Dengan kehadirannya, majelis kami menjadi majelis fikih. Keadaan seperti itu berlangsung selama beberapa waktu. Tiba-tiba lelaki itu tak datang-datang lagi. Kami saling bertanya satu sama lain: “Bagaimana kita sekarang ini? Selama ini majelis kita meriah dengan kehadiran Abu Abdillah, kinikembali menjadi lengang. Maka masing-masing di antara kami saling menjanjikan untuk pergi ke Harbiyyah esok paginya dan menanyakan tentang dirinya. Kamipun tiba di Harbiyyah. Jumlahkami ada beberap orang.
Namun tiba-tiba kami merasa malu untuk menanyakan tentang lelaki tersebut. Saat itu kami lihat ada beberap anak kecil yang selesai belajar. kamipun bertanya:”Kenal dengan Abu Andillah?” Mereka balik bertanya: “Apakah yang kalian maksud adalah Abu Abdillah si pemburu?” Kami menjwab: “Betul” Mereka berkata: “Sekarang inilah waktu biasanya dia pulang.” Kamipun duduk menunggunya. Tiba-tiba dia sudah datang dengan mengenakan secarik kain, di atas pundaknya juga tergantung secarik kain lainnya, sementara ia juga membawa beberapa ekor burung yang sudah disembelih, dan beberpa ekor lainnya masih hidup. Ketika ia melihat kami, iapun tersenyum, seraya berkata: “Ada apa gerangan tuanku sekalian datang kemari?” Kami menjawab: “Kami kehilangan kamu. Kamu telah memeriahkan majelis-majelis kami. Apa yang menyebabkan kamu tidak menemui kami lagi?” Lelaki itu menjawab: “Kalau begitu, akan kuceritakan sesungguhnya. Kami disini memiliki seorang tetangga yang setiap hari aku pinjam bajunya, untuk kugunakan menemui tuan sekalian. Sementara disini ia orang perantauan. Sekarang ia sudah kembali ke kampung halamannya, sehingga aku tidak memiliki pakaian lagi untuk kugunakan mendatangi kalian. Sudikah tuan-tuan mampir ke rumahku sebentar untuk menikmati rezeki yang diberikan Allah ini?”
Sebagian kami berkata kepada yang lainnya: “Mari kita masuk ke rumahnya.” Ia segera masuk lebih dahulu, memberi salam, menunggu sebentar, lalu mempersilakan kami masuk. Kamipun masuk. Ternyata ia telah menyiapkan sepotong kain dan membentangkannya. kami duduk di atas kain itu. Lelaki itu menemui istrinya dan menyerahkan burung-burung yang telah disembelih, lalu ia membawa burung-burung yang masih hidup. Kemudian berkata: “Tunggu sebentar, saya akan datang lagi.” Segera ia pergi ke pasar dan menjual burung-burung itu lalu membeli roti, sementara istrinya memasak burung-burungnya. Tak lama ia sudah menghidangkan kepada kami roti beserta burung-burung yang sudah dimasak itu. kamipun makan. Lelaki itu ke belakang, dan membawakan kami garam dan air. Setiap kali ia pergi ke belakang, sebagian kami berkata kepada yang lainnya: “Pernahkah engkau melihat yang semacam ini? Tidakkah kita berusaha merubah kondisi kehidupannya, karena kita adalah orang-orang kaya di kota bashrah?” Seorang di antara kami berkata: “Saya menanggung lima ratus dirham. ” Yang lain menimpali: “Saya tiga ratus, ” yang lainnya lagi sekian dan sekian, sementara ada lagi yang menjanjikan akan mengambilkan dari orang lain sejumlah tertentu, sehingga dalam hitungan terkumpul lima ribu dirham. Mereka berkata: “Mari sama-sama kita hantarkan uang ini dan kita minta lelaki itu untuk merubah sebagiann keadaan ekonominya.”
Kamipun bangkit dan pulang dengan membawa kesepakatan itu, sambil berkendaraan. Kami melewati aAl-Mirbad (Salah satu pasar Arab yang terkenal, berada di Bashrah). Ternyata Muhammad bin Sulaiman, gubernur Bashrah sedag duduk di beranda atas rumahnya. Beliau berkata: “Wahai pelayan, tolong panggilkan Ibrahim bin Syabib bin Syaibah dari orang-orang yang datang itu.” Maka aku (Ibrahim) pun datang menemui beliau. Beliau lantas menanyakan aku tentang kisah perjalanan kami, dari mana kami pulang. Maka akupun menyampaikan cerita perjalanan kami. Beliau segera menyela: “Biar aku yang lebih dahulu mambantunya dari pada kalian. Beliau lalu menitahkan: “Wahai pelayan, tolong ambilkan sebuntal uang dirham.” Pelayan itu segera mengambilkannya. Beliau berkata lagi: “Tolong panggilkan pelayan kamar.” Pelayan kamar itupun datang. maka beliau memerintahkan: “Tolong antarkan uang ini bersama laki-laki ini untuk diberikan kepada orang yang kami perintahkan.”
Aku begitu gembira. Aku segera bangkit dengan cepat dan mendatangi rumah Abu Abdillah. Setelah mengetuk pintu, Abu Abdillah keluar menyambut.Ketika ia melihat pelayan kamar dengan buntalan kain di pundaknya, seolah-olah aku telah menaburkan abu di wajahnya (membuatnya kecewa). Ia segera menghadap kepadaku namun tidak sebagaimana ia memandangku sebelumnya.ia berkata:” Ada apa antara aku dengan engkau? Kenapa ini terjadi? Apakah engkau hendak mencelakakan saya?” Sya berkata: “Wahai Abu Abdillah, duduklah dahulu, biar aku ceritakan kisahnya dari awal kenapa semua ini terjadi. Sebagaimana yang engkau ketahui, yang memberimu ini adalah salah seorang penguasa besar, Muhammad bin Sulaiman. Seandainya ia memerintahkan aku untukmemberikan kepada siapa saja sekehendakku, niscaya aku akan kembali kepadanya dan mengabarkan kepada siapa uang itu kuberikan. Dan ya Allah, aku memang akan memberikannya kepadamu.” Bertambahlah kemarahan Abu Abdillah. Ia segera masuk rumah, dan membantingkan daun pintu di depan wajahku. Akupun mondar-mandir ke sana ke mari, tak tahu apa yang harus kukatakan kepada sang gubernur nanti. Namun bagaimanapun juga aku harus mengatakan yang sebenarnya. Maka kusampaikan kepada beliau kejadian itu. Beliau kemudian berkata: ” Ia pasti seorang Haruri? (Sebuah kelompok bid’ah Khawarij). Demi Allah wahai pelayanku, aku harus menyelesaikannya dengan pedang.” Pelayan itu segera datang membawa pedang. Beliau lalu berkata: “Bawalah pelayan ini menemui lelaki itu.kalau ia menolak juga, pancung lehernya dengan pedang ini, dan bawa kepalanya kepadaku.”
Ibrahim berkata : “semoga Allah memperbaiki anda wahai gubernur. ya Allah, ya Allah. Demi Allah, kami telah mengenal lelaki itu. Dia bukanlah seorang penganut faham khawarij. tetapi saya akan pergi juga dan akan membawanya menghadapmu. yang saya inginkan dari anda adalah agar anda memberinya kebebasan. Beliau memberi jaminan kepadaku. Akupun segera berangkat hingga sampai di depan rumahnya. Aku memberi salam. Ternyata kudengar istrinya merintih dan menangis. Kemudian ia (istri Abu Abdillah, si pemburu) membuka pintu, setelah wanita itu terlebih dahulu ke belakang dan mengijinkan aku untuk masuk. wanita bertanya: “Apa yang terjadi antara kalian dengan Abu Abdillah?” Abu balik bertanya: “Ada apa gerangan yang terjadi dengannya?” Tadi dia masuk rumah dan langsung menuju tempat air, menggayung airnya dan berwudhu. lalu kudengar ia berdoa: “Ya Allah, wafatkanlah aku, dan janganlah Engkau timpakan bencana kepadakau. ” Kemudian ia menengadahkan tangannya sambil terus mengucapkan doa tersebut. Setelah itu aku menemuinya. ternyata ia sudah meninggal. “Aku segera berkata: “Wahai Saudariku, sungguh ini merupakan cerita yang hebat. Janganlah kalian ceritakan kejadian ini sedikitpun kepada siapa-siapa.” Aku langsung menemui Muhammad bin Sulaiman dan menceritakan kejadian itu. “Beliau lalu berkata: “Biar aku pergi sendiri kesana dan menyalatkannya.” Ibrahim berkata: “Maka kejadian itupun menjadi buah bibir di kota Bashrah. sehingga gubernur beserta seluruh rakyat Bashrah turut melayat jenazahnya. Semoga Allah merahmatinya.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ IV:105)
Sumber: Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa: Abu Umar Basyir Al-Medani