Al Hikmah

Dari Mundzir , dari Rabie’ bin Khutsaim diriwayatkan bahwa ia berkata: “Segala sesuatu yang dilakukan tidak untuk mencari wajah (dan keridhaan) Allah, Pasti sia-sia” (Shifatush Shafwah III:61)

Dari Abu Hamzah Ats-Tsumali diriwayatkan bahwa ia berkata: “Dahulu Ali bin Al-Husein biasa memanggul karung (makanan) setiap malam untuk disedekahkan. Dan beliau pernah berkata: “Sesungguhnya sedekah yang dilakukan secara diam-diam dapat memadamkan kemurkaan Allah Azza wa jalla.” Dari Amru bin Tsaabit diriwayatkan bahwa ia berkata;”Tatkala Ali bin Al-Husein meninggal dunia dan orang-orang memandikan jenazahnya, tiba-tiba mereka melihat bekas-bekas menghitam di punggungnya. Mereka lantas bertanya: “Apa ini?” Sebagian mereka menjawab:”Beliau biasa memanggul karung gandum di waktu malam untuk dibagikan kepada orang-orang fakir di Madinah.” Dari Ibnu Aisyah diriwayatkan bahwa ia berkata: “Ayahku pernah berkata: “Aku pernah mendengar penduduk Madinah mengatakan: “Kami terus-menerus mendapatkan sedekah misterius, hingga meninggalnya Ali bin Al-Husein (Shifatush Shafwah III:61)

Muhammad bin Al-Mutsanna diriwayatkan bahwa ia berkata: Abdullah bin Sinan telah menceritakan kepada kami, ia berkata: “Aku pernah bersama Abdullah bin Al-Mubarak dan Mu’tamar bin sulaiman di Tharashus. Orang-orang berteriak: “Musuh, musuh.” Ibnul Mubarak segera keluar bersama pasukan kaum muslimin. Tatkala dua kelompok (Islam dan kafir) sudah saling berhadapan. Seorang tentara Romawi maju dan menantang berduel satu lawan satu. Maka seorang tentara (muslim) maju dan melayaninya, lalu tentara kafir itu menerjang dan membunuhnya. Begitu berlangsung terus hingga ia berhasil membunuh 6 orang tentara muslim. Ia dengan congkak berdiri di antara dua kubu dan menantang berduel. Namun tak seorang pun yang bersedia melayaninya. Tiba-tiba Ibnul Mubarak menoleh kepadaku seraya berkata:” Wahai fulan, kalau akau terbunuh kerjakanlah ini dan ini.” Beliau lalu mengayuh tunggangannya dan menyerang tentara kafir itu. Terjadilah pertarungan selama beberapa saat. Akhirnya beliau berhasil membunuh orang kafir tersebut dan menantang berduel. Seorang tentara kafir lainnya maju menghadapi beliau, namun beliau berhasil membunuhnya. Begitu terus berlangsung hingga beliau berhasil membunuh enam orang kafir. Beliau terus menantang duel, namun kelihatannya sudah ciut nyali mereka. Beliau kemudian menghentakkan tunggangannya menembus dua kubu yang berhadapan lalu pergi menghilang. Kami seolah-olah tidak merasakan apa-apa (saking terpananya). setelah itu, aku bertemu lagi dengan beliau di tempat yang biasa ia berada di sana. ia mengatakan:” Wahai Fulan, selama aku masih hidup, jangan engkau ceritakan kejadian itu kepada siapapun.” Beliau lalu menyebutkan beberapa kata. (Siyaru A’laamin Nubalaa’ VIII:408,409)

Dari Muhammad bin Isa diriwayatkan bahwa ia berkata: “Abdullah bin Al-Mubarak biasa pulang pergi ke Tharasus. Beliau biasa singgah beristirahat di sebuah penginapan. Ada seorang pemuda yang mondar mandir mengurus kebutuhan beliau sambil berlajar hadits. Diriwayatkan bahwa suatu hari beliau mampir ke penginapan itu namun tidak mendapati pemuda tersebut. kala itu beliau tergesa-gesa dan keluar berperang bersama pasukan kaum muslimin. Sepulangnya dari peperangan itu , beliau kembali ke penginapan itu dan menanyakan perihal pemuda tersebut. Orang-orang memberitakan bahwa pemuda itu ditahan akibat terlilit hutang yang belum dibayarnya. Maka Abdullah bin Al-Mubarak bertanya: “Berapa jumlah hutangnya?” Mereka menjawab: “Sepuluh ribu dirham.” Beliau segera menyelidiki sampai beliau dapatkan pemilik hutang tersebut. Beliau memanggil orang tersebut pada malam harinya dan langsung menghitung dan membayar hutang pemuda tadi. Namun beliau meminta lelaki itu untuk tidak memberitahukan kejadian itu kepada siapapun selama beliau masih hidup. Beliau berkata: “Apabila pagi tiba, segera keluarkan pemuda tersebut dari tahanan.”

Abdullah segera berangkat pergi, dan pemuda itupun segera dibebaskan. Orang-orang mengatakan kepadanya: “Kemarin Abdullah bin Al-Mubarak ke sini dan menanyakan tentang dirimu, namun sekarang dia sudah pergi.” Si pemuda segeramenyusuri jejak Abdullah dan berhasil menjumpai beliau kira-kira dua atau tiga marhalah (satu marhalah kira-kira dua belas mil) dari penginapan. Beliau (Abdullah) bertanya:”Kemana saja engkau? Saya tidak melihat engkau di penginapan ?” Pemuda itu menjawab: “Betul wahai Abu Abdirrahman, saya ditahan karena hutang.” Belau bertanya lagi: “Lalu bagaimana engkau dibebaskan?” Ada seseorang yang datang membayarkan hutangku. sampai aku dibebaskan , aku tidak mengetahui siapa lelaki itu.” Maka beliau berkata: “Wahai pemuda, bersyukurlah kepada Allah yang telah memberi taufik kepadamu sehingga lepas dari hutang.” Lelaki pemilik hutang itu tidk pernah memberitahukan kepada siapapun sehingga Abdullahbin Al-Mubarak wafat (“Shifatush Shafwah” IV:141,142).

Dari Abdullah bin Al-Mubarak diriwayatkan bahwa ia berkata: “Hamdun bin Ahmad pernah ditanya: “Mengapa ucapan ulama As-Salaf lebih berguna dari ucapan kita?” Beliau menjawab: “KArena meeka berbicara untuk kemuliaan Islam, keselamatan jiwa dan keridhaan Ar-Rahman. Sedangkan kita berbicara untuk kemuliaan diri, mencari dunia dn keridhaan manusia.” (Shifatush Shafwah IV:122).

Yusuf bin Ahmad Asy-Syairaazi pernah menyatakan dalam bukunya ” Arba’ienul Buldaan” (kisah di empat puluh negeri): “Tatkala aku mengembara menemui guru kami dimana beliau adalah tujuan para penuntut ilmu, ulama hadits pada zamannya, bergelar abul waqti (Beliau adalah: Abdul Waqti Abdul Awwal bin Abu Abdillah Isa bi Sueib As-Sajizi Al-Harawi, seorang imam muhaddits yang zuhud. Beliau lahir tahun 458 H) Allah menakdirkan diriku untuk dapat meneuinya di ujung negeri kirman. Aku segera memberi salam kepadanya, menciumnya dan duduk di hadapannya. Beliau lalu bertanya kepadaku:”Apa tujuanmu datang ke negeri ini?” Aku menjawab:”Tujuanku adalah mencarimu, sandaranku setelah Allah adalah dirimu. Aku telah menulis setiap yang sampai kepadaku dari riwayat-riwayat haditsmu dengan tanganku sendiri, aku datang menemuimu dengan kakiku sendiri; untuk mendapatkan berkah ilmumu dan memperoleh bagian dari ketinggian sanadmu.” Beliau menanggapi:”Semoga Allah mengaruniai taufik kepad kita semua menuju keridhaan-Nya, menjadikan usaha dan tujuan kita hanya kepada-Nya. Seandainya engkau mengetahui kisah diriku yang sebenarnya, niscaya engkau tidak akan memberi salam kepadaku dan tidak akan duduk belajar di hadapanku.”

Lalu beliau menangis lama sekali dan membeuat orang-orang yang ada di sekelilingnya ikut menangis. Kemudian beliau berkata: “Ya Allah, tutupilah dosa-dosa kami dengan hijab-Mu yang terbaik, seusai Engkau tutupi dosa-dosa kami, sisakan perbuatan yang membuat-Mu ridha kepada kami.” (Beliau melanjutkan:) Wahai anakku, kamu tentu tahu, bahwa aku dulu juga mengembara untuk mempelajari kita “Ash-Shahih” dengan berjalan kaki bersam ayahku di Harat utnuk bertemu dengan Ad-Dawudi (Ad-Dawudi adalah:Jamalul Islam Abul Hasan Abdur Rahman bin Muhammad, Seorang muhaddits, dimana Abul Waqti belajat kitab “Ash-Shahih” darinya) di Posang, umurku kala itu belum genap sepuluh tahun. Biasanya ayahku meletakkan dua buah batu di genggaman dua tanganku sambil berkata: “Bawalah kedua batu itu. “Saking takutnya, aku membawa batu itu dengan hati-hati sambil berjalan, sementara ayahku terus memantau diriku. Apabila beliau telah melihat diriku kecapaian, beliau menyuruhku untuk melemparkan satu dari dua batu itu. Akupum meemparkannya sehingga terasa lebih ringan.

Aku terus berjalan hingga terlihat olehnya kelelahanku. Setelah itu beliau bertanya: “Kamu lelah?” Karena takut, aku menjawab: “Belum. “Belai bertanya lagi: “kalau begitu,kenapa engkau memperlambat jalanmu?” Maka aku segera mempercepat langkahku di depan beliau selama beberap asaat. Setelaj itu aku kelelahan. Beliau segera mengambil batu yang satunya dan membuangnya. Aku lalu berjalan hingga tak sanggup lagi. Saat itu lah beliau memanggul dan membawaku. Di tengah jalan kami betemu dengan sekelompok petani dan lain-lain. Mereka berkata: “Wahai Syiakh Isa, biarkan kami memboncengkan anakmu itu, bila perlu dengan engkau sekalian menuju Posang.” Beliau menjawab: “Kami berlindug kepada Allah untuk berkendaraan dalam mencari hadits-hadits Rasulullah Shallahllahu’alaihi wasallam Biarkan kami berjalan saja. kalau anakku lelah, biarkan aku menggendongnya di atas kepalaku demi memuliakan hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallm dan mengharapkan pahala dari-Nya. ” Buah dari keikhlasan bapakku itu adalah: ” Aku memperoleh manfaat dari mempelajari kitab ” Ash-Shahih” dan kitab kitab lainnya.

Tidak ada temanseangkatanku yang masi hidup hingga kini. hanya aku yang masih hidup. Sehingga berbagai utusan (Penuntut ilmu) mendatangiku dari berbagai penjuru.” Kemudian beliau (Syaikh Abul Waqti) meminta kepada shahabat kami Abdul Baqi bin Abdul Jabbar Al-HArawi untuk menyuguhkan makanan ringan buat kami. Aku segera berkata: “Wahai tuan, membaca satu juz karya Abu Jahm lebih aku suaki dari pada memakan makanan ringan itu. ” Beliau tersenyum seraya berkata: “Apabila sudah masuk makanannya nanti, akan keluar pembicaraan ita. ” Beliau segera menyuguhkan makanan manis yang berkuah, dan langsung kami santap. Lalu akau mengeluarkanJuz Abul Jahm tersebut dan meminta beliau untuk mengeluarkan naskah aslinya. Beliau berkata: “Jangan khawatir dan jangan terburu nafsu. sesungguhnya aku telah banyak melahirkan murid-murid yang kini telah tiada. Mintalah keselatan dari Allah. ” Akupun segera membaca juz tersebut, dan aku sunggguh senang sekali.lalu Allah memberi kemudahan bagiku untuk mempelajari kitab “Ash-Shahi” dann yang lainnya berkali-kali. Aku terus menemani dan merawat beliau hingga beliau wafat di Baghdad di malam selasa pada bulan Dzulhijjah (Siyaru A’laamin NUbalaa’ XX:307,308)

Sumber: Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa: Abu Umar Basyir Al-Medani
 
Top