Al Hikmah

Dari Ibnu Syaudzab diriwayatkan bahwa ia berkata: “Tatkala Abu Hurairah berada di ambang kematian, tiba-tiba beliau menangis. Orang-orang bertanya “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab: “Jauhnya perjalanan. sedikitnya perbekalan dan banyaknya aral rintangan. Sementara tempat kembali, bisa ke jannah, bisa juga ke Naar.” (Shifatush Shafwah I:694)

Dari Ubaidillah bin As-Sirri diriwayatkan bahwa ia berkata: “Ibnu Sirrin pernah berkata: “Aku sungguh mengetahui penyebab utang yang kini melilitku. Aku pernah mengejek seorang lelaki sekitar empat puluh tahun yang silam: “Wahai orang yang bangkrut (pailiy0.” Maka aku (Ubaidillah bin As-Sirri) menceritakan hal itu kepada Abu Sulaiman Ad-Darani. Maka beliau menanggapi: “Dosa-dosa merela (para salaf) sedikit, tetapi mereka tahu dari mana datang kepada mereka dosa-dosa itu. Sementar dosa-dosa kita banyak, namun kita tidak tahu dari mana dosa-dosa itu mendatangikita.” (Shifatush Shafwah III:246)

Dari Abdullah bin Abdurrahman bi Yazid bi nJAbir diriwayatkan bahwa ia berkata: “Pamanku Yazid bin Yazid bin Jabir telah menceritakan kepad kami, dari Atha’ Al-Kharasani, bahwa ia berkata: “Aku tidak mewasiatkan kepada kamu sekalian untuk urusan dunia. Untuk urusan itu, kamu sekalian telah banyak mendapatkan wejangan, dan kalian sendiri bernafsu mendapatkannya. Yang aku wasiatkan kepada kalian adalah urusan akhirat kalian Ambillah bekal dari dunia yang fana ini untuk kehidupan kahirat yang abadi. Jadikanlah dunia ini seperti sesuatu yang sudaj kamu tinggalkan. Dan demi Allah, kamu memang pasti akanmeninggalkannya. Dan jadikanlah kematian itu seperti sesuatu yang telah kamu rasakan. Dan demi Allah, kamu memang akan merasakannya. Jadikanlah akhirat itu seperti temapt yang telah kamu singgahi. Dan demi Allah, kamu memamng akan singgah di sana. Ia (akhirat) adalah kampung halaman setiap manusia. Dan tak seorang pun yang keluar bepergian tanpa mempersiapkan bekalnya. Orang yang mempersiapkan bekal yangberguna buat dirinya, ia akan bahagia. Sedangkan orang yang keluar bepergian tanpa mempersiapkan bekal, ia akan menyesal. Kalu ia kepanasan, ia tak akan mendapatkan tempat berteduh. kalau ia kehausan, tak akan mendapatkan air pelepas dahaga. Sesungguhnya perjalanan dunia ini pasti berakhir. Orang paling kuta adalah yang selalu bersiap-siap utuk perjalanan yang tidak ada akhirnya.” (Shifatush Shafwah IV:151)

Dari Qobishah bin Qais Al-Anbari diriwayatkan bahwa ia berkata: “Adh-Dhahhak bin Muzahim apabila datang sore hari beliau menangis. Ada orang yang bertanya: “Apa gerangan yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab: “Aku tidak tahu, amalankuu yang mana yang naik ke langit (diterima Allah) pada hari ini.” Shifatush Shafwah IV:150)

Dari Qasim bin Muhammad diriwayatkan bahwa ia berkata: “Kami pernah bepergian bersama Ibnul Mubarak. Seringkali terlintas dalam benakku: “Mengapa gerangan lelaki ini diutamakan atas diri kami, sehingga ia demikian tekenal di khalayak ramai? Kalau dia shalat, kami juga shalat, kalau dia bershiyam, kami juga shiyam, kalu dia berjihad, kami juga berjihad, kalau dia berhaji, kami juga berhaji?” (Al-Qasim) melanjutkan: “di tengah perjalanan kami, yaitu ke tika kami sampai di negeri Syam pada suatu malam, kami makan malam di sebuah rumah, tiba-tiba lampu padam. Maka salah seorang di antara kami segera mengambil lampu [atau diriwayatkan dia keluar mencari sesuatu untuk menyalakan lampu beberapa saat, kemudian datang dengan membawa lampu]. Tiba-tiba kulihat wajah dan jenggot Ibnul Mubarak sudah ditetesi air mata.” Aku berkata dalam diriku sendiri: “Karena rasa takut (ketakwaan) inilah lelaki ini diutamakan atas diri kami. Barangkali ketika lampu padam, keadaan menjadi gelap, ia teringat dengan hari Kiamat. [Shifatush Shafwah IV:145]

Dari Al-Marruzi diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Imam Ahmad: “Bagaimana keadaan anda pagi hari ini?” Beliau menjawab: “Bagaimana kira-kira keadaan seorang hamba di pagi hari, di mana Rabb-nya menuntut dirinya untuk melaksanakan berbagai kewajiban, nabinya menuntut dirinya untuk melaksanakan As-sunnah, sementara dua malaikat menuntut dirinya untuk beramal dengan benar. Di sisi lain, jiwanya menuntut dirinya untuk memperturutkan hawa nafsu, dan Iblis menuntut untuk melakukan perbuatan keji, sedangkan malaikat maut terus memantau dirinya untuk mencabut ruhnya, sementara keluarganya menuntut dirinya mencari nafkah?”(Siyaru A’laamin Nubalaa’ XI:227)

Al-Qadhi Husain meriwayatkan dari gurunya Al-Qaffal, bahwa seringkali sang guru menangis ketika tengah mengajar, kemudian setelah itu beliau mengangkat kepalanya seraya berkata: “Alangkah lalainya kita terhadap apa yang diwajibkan atas diri kita.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ 17:407

Sumber: Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa : Abu Umar Basyir Al-Medani
 
Top