Al Hikmah

Dari Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, dari ayahnya diriwayatkan bahwa ada seorang lelaki yang datang menemui Abdullah bin Mas’ud dan berkata: “Wahai Abu Abdirrahman, ajarkan kepadaku beberapa kata yang ringkas dan padat lagi berguna.” Abdullah berkata: “Janganlah engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu, berjalanlah seiring dengan ajaran Al-Qur’an ke manapun ia mengarah; dan barangsiapa yang datang kepadamu membawa kebenaran, terimalah, meskipun ia orang jauh yang engkau benci; barangsiapa yang datang kepadamu membawa kebatilan, tolaklah ia, meskipun dia adalah kerabat yang engkau cintai.” (Shifatush Shafwah I:419)

Dari Abul Ahwash, dari Abdullah (bin Mas’ud -ed-) diriwayatkan bahwa ia berkata: “Janganlah seseorang itu bertaklid kepada orang lain dalam urusan diennya; yang apabila orang itu beriman ia ikut beriman dan orang itu kafir iapun ikut kafir. Kalaupun kita harus bertaklid, hendaknya bertaklid kepada (orang-orang) yang sudah mati (yaitu generasi sahabat -ed-). Karena orang yang masih hidup, masih belum dijamin selamat dari kesesatan.” (Shifatush Shafwah I:421)

Ar-rabie’ berkata: “Aku pernah mendengar Asy-Syafi’ie berkata: “Apabila dalam tulisanku kalian mendapati sesuatu yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ambillah sunnah itu sebagai pegangan, dan tinggalkan apa yang aku katakan. Siyaru A’laamin Nubalaa’ X:34)

Al-Humaidi berkata: “Suatu hari Imam Syafi’ie meriwayatkan satu hadits. Aku lantas bertanya: “Apakah engkau menjadikannya sebagai pendapatmu?” Beliau menjawab: “Apakah engkau melihat aku sedang keluar dari gereja? atau aku tengah mengenakan sabuk (simbol ahli kitab), sehingga ketika aku mendengar satu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu tidak kujadikan sebagai pendapatku?” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ X:34)

Ar-Rabie’ juga pernah berkata: “aku pernah mendengar Asy-Syafie’ menyatakan: “Langit mana lagi tempat aku berteduh, dan bumi mana lagi tempat aku berpijak, apabila aku meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam lalu tidak kujadikan sebagai pendapatku?” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ X:35)

Al-Khatib berkata: “Al-Jauhari telah memberitakan kepada kami, Al-Marzabani telah memberitakan kepada kami, Ahmad bin Muhammad bin Isa telah menceritakan kepada kami, Abul ‘Ainaa’ telah menceritakan kepada kami: “Tatkala Al-Mahdi berhaji, beliau memasuki masjid Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Setiap orang yang ada bersama beliau berdiri (sebagai penghormatan), kecuali Ibnu Abi Dzi’bin. Maka Al-Musayyab bin Zuheir berkata: “Berdirilah. Itu adalah Amirul Mukminin. “Ia menjawab: “Sesungguhnya manusia hanya boleh berdiri menghormat kepada Rabbul ‘alamien.” Al-Mahdi lalu berkata: “Biarkan dia. Sungguh telah berdiri bulu kudukku karenanya.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ VII:143)

Diriwayatkan bahwa Hatim Al-Asham berkata: “Aku senang bila orang yang mendebat diriku ternyata dia yang benar. Sebaliknya aku bersedih kalau orang yang mendebat diriku ternyata keliru.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ XI:387)

Sumber : Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa : Abu Umar Basyir Al-Medani
 
Top