Dari Muhammad bin Amru, dari Salamah diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah berdiri di sisi Zaid bin Tsabit dan langsung memegang tali kekang tunggangannya. Beliau (Zaid) berkata: “Wahai anak paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, menjauhlah kamu.” Ia menjawab: “Beginilah yang kami lakukan untuk menghormati para ulama dan senior-senior kami.” (“Siyaru A’laamin Nubalaa'” II:437)
Dari Umar bin Mudrik diriwayatkan bahwa ia berkata: “Al-Qasim bin Abdurrahman telah menceritakan kepada kami: Asy’ats bin Syu’bah Al-Mashishi telah menceritakan kepada kami, ia berkata: “Rasyid pernah datang ke Raqqah. Maka orang-orang pun pada berdesak-desakkan di belakang Ibnul Mubarak, sehingga tali-tali sendal saling berputusan dan debu-debu beterbangan. Ummu Walad (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya -ed) dari Amirul Mukminin melongok dari istana kayunya sambil bertanya: “Ada apa rupanya?” Mereka menjawab: “Ada ulama dari negeri Khurasan datang kemari.” Ia berkomentar: “Demi Allah, inilah raja. Raja Harun tidak bisa mengumpulkan orang-orang kecuali disertai penjagaa keamanan dan polisi.” (“Siyaru A’laamin Nubalaa'” VIII:384)
Ibrahim bin Ishaq Al-Harbi pernah berkata: “Atha’ bin Abu Rabbah dahulu adalah seorang budak berkulit hitam milik seorang wanita dari kalangan penduduk Makkah. Konon hidungnya menyerupai sebutir kacang. “Perawi menuturkan: “Suatu hari Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik bersama kedua anaknya datang menemui Atha’. Mereka duduk di sisinya, sementara beliau masih menjalankan shalat. Ketika beliau usai shalat, beliau menyisihkan waktu untuk mereka. Mereka terus saja bertanya kepada beliau tentang manasik haji, padahal beliau telah membelakangi mereka. Sulaiman berkata kepada kedua anaknya; “Wahai anak-anakku, janganlah kalian lalai dalam menuntut ilmu. Sungguh saya tidak akan melupakan rendahnya kita di hadapan budak hitam satu ini.” (“Shifatush Shafwah” II:212)
Rustah berkata; “Aku pernah mendengar Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Ada kebiasaan kami yang menyatakan: “Apabila seseorang bersua dengan orang yang lebih alim dari dirinya, itulah hari ia bisa mengambil sejuta faedah (yakni ilmu yang datang tiba-tiba); apabila ia berjumpa dengan orang yang sejajar dengannya dalam ilmu, ia bisa saling belajar dan menimba ilmu; dan apabila ia bertemu dengan orang yang kurang berilmu dari dirinya, hendaknya ia berendah hati dan sudi mengajarnya. Tidak layak seseorang orang menjadi seorang ahli ilmu, kalau ia berbicara dengan segala yang didengarnya. Demikian juga seseorang tidak akan menjadi seorang imam ahli ilmu, kalau ia menyampaikan hadits dari siapa saja, juga orang yang suka menyampaikan hadits yang ganjil. Sesungguhnya hafalan itu adalah demi melekatnya ilmu.” (“Siyaru A’laamin Nubalaa'” IX : 203)
Ibnu Basykuawaal berkata menceritakan pengalaman Ibrahim Al-Harbi: “Aku pernah menukil dari buku Ibnu ‘Attab: “Ibrahim Al-Harbi adalah sosok seorang lelaki shalih dari kalangan ulama. Beliau pernah mendengar ada kaum yang suka duduk di majelisnya dan lebih mengutamakan dirinya dari Ahmad bin Hambal. Beliau mengkonfirmasikan hal itu kepada mereka, dan merekapun mengakuinya. Maka beliau berkata; “Sungguh kalian telah menzhalimi saya dengan mengutamakan saya dari orang yang saya tidak bisa menyerupainya, saya juga tidak bisa mengikuti jejak beliau dalam banyak hal. Maka saya bersumpah atas nama Allah, saya tidak akan menyampaikan ilmu apapun kepada kalian lagi. Maka mulai hari ini, jangan kalian datang lagi menemuiku.” (“Siyaru A’laamin Nubalaa'” XIII:364)
Sumber: Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa: Abu Umar Basyir Al-Medani