Abu Qilabah berkata kepada Ayyub As Sakhtiyani, “Apabila kamu mendapat ilmu, maka munculkanlah keinginan ibadah padanya. Jangan sampai keinginanmu hanya untuk menyampaikan kepada manusia.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah 2/45, Muhammad Al-Maqdisy, Syamilah)
Seorang insan selalu membutuhkan Allah ‘azza wa jalla dalam bentuk ibadah dan isti’anah/permintaan pertolongan. Adapun kebutuhan dirinya kepada Allah dalam bentuk ibadah, karena sesungguhnya ibadah itu adalah bahan baku/sumber kebahagiaan dirinya.
Adapun mengenai isti’anah, karena sesungguhnya apabila Allah tidak memberikan bantuan dan pertolongan kepadanya, maka Allah akan menyandarkan dia/urusannya kepada dirinya sendiri. Sehingga itu artinya Allah akan menyerahkan dirinya kepada sifat ketidakmampuan, kelemahan, dan aurat/aib. Sementara tidak mungkin tegak urusan seorang insan melainkan dengan bantuan dan pertolongan dari Allah ‘azza wa jalla.
[lihat Ahkam min al-Qur'an al-Karim, hal. 22-23]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
Seorang hamba apabila bertekad untuk melakukan suatu perkara maka wajib atasnya untuk pertama kali melihat; apakah hal itu termasuk ketaatan kepada Allah atau bukan?
Apabila ternyata hal itu bukan ketaatan hendaklah tidak dia lakukan. Kecuali apabila hal itu adalah suatu perkara yang hukumnya mubah/boleh-boleh saja dan digunakan untuk membantu terlaksananya ketaatan. Dalam kondisi seperti ini maka sesuatu yang asalnya mubah tadi berubah menjadi bernilai ketaatan.
Kemudian apabila tampak jelas baginya bahwa hal itu merupakan ketaatan, hendaklah dia melihat kembali hal itu apakah dirinya diberikan bantuan/pertolongan dari Allah untuk melakukan hal itu atau tidak? Apabila dia belum atau tidak mendapatkan bantuan/pertolongan dari Allah untuk melakukannya maka janganlah dia memaksakan diri melakukan hal itu karena hal itu justru akan menghinakan dirinya sendiri.
Apabila dia mendapatkan bantuan/pertolongan dari Allah untuk hal itu maka masih ada perkara lain yang harus diperhatikan; yaitu hendaklah dia mendatangi/memulai perbuatan itu dari pintu/jalan yang semestinya. Karena apabila dia menghampiri perbuatan dan masalah itu tidak melalui pintu/jalan yang semestinya maka dia pasti akan menyia-nyiakan, tidak menunaikan haknya, atau bahkan merusak salah satu bagian di dalamnya.
Ketiga perkara ini adalah pokok kebahagiaan dan sumber kebertuntungan hamba. Inilah makna yang tersimpan dalam ucapan hamba ‘Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus’ (QS. Al-Fatihah).
Oleh sebab itu manusia yang paling berbahagia adalah orang yang menegakkan ibadah -ahlul ‘ibadah-, senantiasa memohon pertolongan Allah -ahlul isti’anah-, dan orang yang mendapatkan curahan hidayah -ahlul hidayah- terhadap segala hal yang dituntut. Dan orang yang paling binasa adalah orang yang kehilangan ketiga perkara ini sekaligus.
Dari keterangan di atas, dapatlah kita tarik kesimpulan, bahwa kebahagiaan itu ditegakkan di atas tiga pilar utama, yaitu :
Ibadah kepada Allah [baca; tauhid]
Isti’anah kepada Allah [baca; tawakal]
Hidayah menuju jalan yang lurus [baca; ilmu dan amal]
Dari sini pula, dapat kita simpulkan bahwa orang-orang yang gagal meraih kebahagiaan itu bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama, yaitu :
Orang-orang yang kehilangan ibadah kepada Allah. Mereka adalah orang yang sama sekali tidak beribadah kepada Allah, atau beribadah kepada Allah namun mempersekutukan-Nya. Mereka itu adalah golongan orang-orang kafir dan musyrikin. Termasuk di dalamnya adalah golongan kaum munafikin dan orang-orang yang riya’ dalam beramal. Mereka kehilangan tauhid, iman, dan ikhlas.
Orang-orang yang lalai dari ber-isti’anah kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya. Mereka adalah golongan orang-orang yang menyombongkan diri dan ujub. Oleh sebab itu dinyatakan bahwa orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan tidak akan masuk ke dalam surga. Termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang merasa dirinya telah berjasa kepada Islam, merasa berjasa kepada Allah dan Rasul-Nya, serta merasa berjasa kepada dakwah dan tegaknya sunnah di muka bumi.
Orang-orang yang kehilangan hidayah menuju jalan yang lurus. Yaitu orang-orang yang terkungkung oleh fitnah syubhat yang merusak ilmu dan pemahaman, serta orang-orang yang terhanyut dalam fitnah syahwat sehingga mencemari ketulusan dan keikhlasan niat. Mereka adalah kaum yang menyimpang karena beramal tanpa ilmu atau meninggalkan amal setelah mengetahui ilmunya. Termasuk di dalamnya adalah seluruh sekte sesat dan ahli bid’ah di tengah kaum muslimin. Termasuk di dalamnya adalah seluruh pelaku dosa besar dan kekejian di antara umat ini.
Dari sinilah, kita bisa memahami maksud dari perkataan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berikut ini. Beliau berkata, “Ada tiga pokok yang menjadi pondasi kebahagiaan seorang hamba, dan masing-masingnya memiliki lawan. Barangsiapa yang kehilangan pokok tersebut maka dia akan terjerumus ke dalam lawannya. [1] Tauhid, lawannya syirik. [2] Sunnah, lawannya bid’ah. Dan [3] ketaatan, lawannya adalah maksiat…” [lihat al-Fawa'id, hal. 104]
Oleh sebab itu, ketika kita membaca surat al-Fatihah di dalam sholat, dan diantaranya adalah ayat [yang artinya] ‘Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus’. Maka pada hakikatnya seorang hamba sedang mengikrarkan sebuah jalan kebahagiaan yang akan ditempuh dan dijalani olehnya di sepanjang hayatnya; yaitu beribadah kepada Allah, mentauhidkan-Nya, tunduk dan mencintai-Nya, takut dan berharap kepada-Nya, bertawakal dan berdoa kepada-Nya, merendah diri dan mengagungkan-Nya. Memohon kepada-Nya hidayah dan taufik untuk menemukan jalan yang lurus dan agar bisa berjalan di atasnya.
Inilah jalan kebahagiaan yang selalu kita ikrarkan di dalam dua kalimat syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Inilah jalan islam dan sunnah. Inilah jalan salafus shalih. Inilah jalan yang memadukan antara keikhlasan dan amalan hati dengan ketundukan serta amalan anggota badan. Inilah jalan yang meramu kekuatan sabar dan keindahan syukur. Inilah jalan yang menggabungkan antara musyahadatul minnah/menyaksikan sekian banyak curahan nikmat, dengan muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal; mencermati sekian banyak kekurangan dan cacat pada diri dan amal kita. Allahul musta’aan.