Al Hikmah

[1] Abu Utsman al-Maghribi rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah melupakan pandangan orang dengan senantiasa memperhatikan pandangan Allah. Barangsiapa yang menampilkan dirinya berhias dengan sesuatu yang tidak dimilikinya niscaya akan jatuh kedudukannya di mata Allah.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 86)

[2] Abul Qasim al-Qusyairi rahimahullah mengatakan, “Ikhlas adalah menunggalkan al-Haq (Allah) dalam hal niat melakukan ketaatan, yaitu dia berniat dengan ketaatannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Bukan karena ambisi-ambisi lain, semisal mencari kedudukan di hadapan manusia, mengejar pujian orang-orang, gandrung terhadap sanjungan, atau tujuan apapun selain mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.” (lihat Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)

[3] Abu Turab rahimahullah mengatakan, “Apabila seorang hamba bersikap tulus/jujur dalam amalannya niscaya dia akan merasakan kelezatan amal itu sebelum melakukannya. Dan apabila seorang hamba ikhlas dalam beramal, niscaya dia akan merasakan kelezatan amal itu di saat sedang melakukannya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 594)

[4] Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya pun menjadi terhapus.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 584)

[5] as-Susi rahimahullah berkata, “Ikhlas itu adalah dengan tidak memandang diri telah ikhlas. Barangsiapa yang mempersaksikan kepada orang lain bahwa dirinya benar-benar telah ikhlas itu artinya keikhlasannya masih belum sempurna.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 86)

[6] al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’ sedangkan beramal untuk dipersembahkan kepada manusia merupakan kemusyrikan. Adapun ikhlas itu adalah tatkala Allah menyelamatkan dirimu dari keduanya.” (lihat Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)

[7] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Dahulu dikatakan: Bahwa seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan, selama jika dia berkata maka dia berkata karena Allah, dan apabila dia beramal maka dia pun beramal karena Allah.” (lihat Ta’thir al-Anfas min Hadits al-Ikhlas, hal. 592)

[8] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Bukanlah tangisan hakiki tangisan dengan mata. Akan tetapi tangisan yang hakiki adalah tangisan hati.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 579)

[9] al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Ilmu dan amal terbaik adalah yang tersembunyi dari pandangan manusia.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 231).

[10] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Benar-benar ada dahulu seorang lelaki yang memilih waktu tertentu untuk menyendiri, menunaikan sholat dan menasehati keluarganya pada waktu itu, lalu dia berpesan: Jika ada orang yang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa ‘dia sedang ada keperluan’.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal.65)

[11] Hisyam ad-Dastuwa’i rahimahullah berkata, “Demi Allah, aku tidak mampu untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk menuntut hadits dalam keadaan ikhlas karena mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 254)

[12] Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap amalan yang tidak ikhlas dan tidak berada di atas ajaran syari’at yang diridhai [Allah] maka itu adalah batil/sia-sia.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/103])

[13] Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34)

[14] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seandainya seorang yang menyampaikan kebenaran memiliki niat untuk mendapatkan ketinggian di muka bumi (kedudukan) atau untuk menimbulkan kerusakan, maka kedudukan orang itu seperti halnya orang yang berperang karena fanatisme dan riya’. Namun, apabila dia berbicara karena Allah; ikhlas demi menjalankan [ajaran] agama untuk-Nya semata, maka dia termasuk golongan orang yang berjihad di jalan Allah, termasuk jajaran pewaris para nabi dan khalifah para rasul.” (lihat Dhawabith wa Fiqh Da’wah ‘inda Syaikhil Islam, hal. 109)

[15] Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “.. Sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud ‘di atas bashirah’ itu bukan ilmu syari’at saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syari’at, ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/82])

[16] Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Orang yang ikhlas adalah yang berusaha menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia suka menyembunyikan kejelekan-kejelakannya.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 252)

[17] Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ditanya tentang orang-orang yang bertakwa. Beliau pun menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari kemusyrikan dan peribadahan kepada berhala, serta mengikhlaskan ibadah mereka untuk Allah semata.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 211)

[18] Sahl bin Abdullah at-Tustari rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang cerdas memandang tentang hakikat ikhlas ternyata mereka tidak menemukan kesimpulan kecuali hal ini; yaitu hendaklah gerakan dan diam yang dilakukan, yang tersembunyi maupun yang tampak, semuanya dipersembahkan untuk Allah ta’ala semata. Tidak dicampuri apa pun; apakah itu kepentingan pribadi, hawa nafsu, maupun perkara dunia.” (lihat Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hal. 7-8)

[19] Yusuf bin al-Husain rahimahullah berkata, “Sesuatu yang paling sulit di dunia ini adalah ikhlas.” (lihat Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)

Sumber: Terjemah Kitab Salaf
 
Top