Ibnul ‘Arobiy rahimahullah berkata,
لا يكون القلب سليمًا إذا كان حقودًا حسودًا معجبًا متكبرًا، وقد شرط النَّبي صلى الله عليه وسلم في الإيمان، أن يحبَّ لأخيه ما يحبُّ لنفسه
“Hati itu tidak akan menjadi selamat (bersih) jika ia dengki, hasad, angkuh dan sombong. Sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mempersyaratkan dalam keimanan agar ia mencintai bagi saudaranya sebagaimana ia mencintai perkara itu untuknya.” [lihat: Ahkaam Al-Quraan: Karya Ibnul 'Arobiy: (3/459)].
Ibnu Sirin rahimahullah ditanya,
ما القلب السَّليم؟
“Apakah hati yang bersih itu?”
Beliau menjawab,
النَّاصح لله في خلقه
“Memberi nasihat karena Allah kepada makhluk-Nya.” [lihat: Al-Hidayah ilaa Buluugh An-Nihayah, karya Makkiy bin Abu Thalib: (9/ 6122)].
Dikatakan,
القلب السَّليم الذي يحبُّ للنَّاس ما يحبُّه لنفسه، قد سَلِم جميع النَّاس من غشِّه وظلمه، وأسْلَم لله بقلبه ولسانه، ولا يعدل به غيره
“Hati yang selamat itu adalah hati yang mencintai bagi manusia sesuatu yang ia cintai bagi dirinya, manusia selamat dari sifat khianat dan kedzolimannya, dan ia menyerahkan hati dan lisannya (hanya) untuk Allah, dan ia tidak berpaling kepada selainNya.” [lihat: Al-Hidayah ilaa Buluugh An-Nihayah karya Makkiy bin Abu Thalib: (9/6122)].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
فالقلب السَّليم المحمود، هو الذي يريد الخير لا الشَّر، وكمال ذلك بأن يعرف الخير والشَّر، فأمَّا من لا يعرف الشَّر، فذاك نقص فيه لا يُمدح به
“Hati bersih yang terpuji itu adalah yang menginginkan kebaikan bukan kejelekan, dan kesempurnaan hal itu adalah dengan cara ia mengetahui kebaikan dan kejelekan. Adapun orang yang tidak mengenal kejelekan, maka itu adalah kekurangan di dalamnya yang tidak terpuji.” [lihat: Al-Fatawa Al-Kubro: (5/264)].